Dalam ayat cinta-NYA menyebutkan, yang artinya “Wahai manusia! kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu), lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir [35] : 15)
Ingatanku melayang saat usia bocah, saat saya baru masuk sekolah SD. Sepulang sekolah masih pagi jam sepuluh, saya melihat seorang kakek sedang berjalan dalam satu arah denganku, beliau berpakaian lusuh, bertopi yang robek-robek di sana-sini seraya memikul plastik hitam (kantong kresek) yang dengan penampilan sedemikian, semua orang akan berpikiran sama : mungkin beliau adalah pemulung atau peminta-minta. Lalu kusapa dirinya, kuberikan koin uang jajanku yang jumlahnya tak seberapa, kakek itu hanya menunduk dan mengucapkan terima kasih. Ia terus saja berjalan sambil menunduk, sedangkan saya telah berbelok ke pekarangan rumah, disambut oleh ibu tercinta.
Ibuku sempat melihat kakek tersebut dari kejauhan, lalu ibu malah tertawa mendengar ceritaku yang telah memberikan koin sebagai uang infaq, “Kakek itu sedang bersandiwara... dia pasti mau mengunjungi panti asuhannya atau menyetor uangnya ke bank, dia selalu bawa kresek hitam, bukan pemulung, isinya tuh uang, sayang... dia tetangga kita beberapa blok dari sini, bapaknya mbak fulanah itu lho, yang pengusaha...”, ujar ibu, membuatku terbengong sesaat. Wow, pikiranku berkecamuk, hebat banget kakek itu, sempurna penyamarannya, tak goyah walaupun di depan sosok anak kecil sepertiku.
Di lain waktu ketika ibu melewati rumah si kakek, kakek itu mengembalikan koinku tersebut kepada ibu seraya saling sapa sebentar. Memang area dalam kompleks perumahan kami cukup terjaga keamanannya, dan sudah jadi rahasia umum, jika akan bepergian ke luar kompleks, harus meneliti penampilan, jangan sampai mencolok dan mengumbar harta benda agar tak menimbulkan niat jahat bagi mata-mata yang memandang, kota kami dulu digelari ‘kota preman’, mungkin sampai kini masih menyandang status mengerikan itu.
Dan banyak pula sosok-sosok lain teman-teman di luar negeri yang tetap menjaga kesederhanaan penampilan walaupun bukan dalam rangka sandiwara sebagaimana kakek tetangga kami tersebut, namun kesamaan sikap mereka sungguh membuat hati ikut luruh, sikap tawaduk justru membawa kemuliaan bagi seseorang, di mata Allah ta’ala, juga manusia seisi bumi. Bahkan para teman kita yang punya banyak investasi dunia tersebut, lebih memilih berjalan kaki atau naik sepeda dari pada sering-sering menghabiskan energi dengan mobil mewah, sebagaimana kebiasaan kaum borju.
Dahulu diriku punya guru renang semasa SD, ia adalah warga negara Jepang yang bekerja di kota kami, ia pun sejak awal pindah ke Indonesia, malah membeli sepeda untuk menemaninya ke kantor dan kemana-mana di area kompleks dan sekitarnya, meskipun sebenarnya ia disediakan mobil dan sopir pribadi. Sewaktu kami murid-murid renangnya datang ke appartementnya, ia mencicipi kami roti tawar diolesi saos sambal (baru kali pertama itulah, saya menikmati roti tawar berselai sambal), serta semangkuk salad yang berisikan tomat dan timun, katanya itu adalah menu makan siangnya. Kami waktu itu mengira makanan itu ‘hanyalah snacks kecil’ saja, kalau makan siang kebanyakan dari kita kan biasanya lengkap, sup, nasi dengan lauk-pauk dan buah-buahan atau tinggal order fast-food saja, dll. Dan ternyata, hidup bersahaja dengan tetap memperhatikan makanan dan kendaraan yang sehat seperti itu, menambah hikmah besar lain, disamping keridhoan Ilahi Robbi dunia dan akhirat, yaitu kondisi kesehatan akan terjaga, terbukti 20 tahun tak berjumpa sang guru, saat melihat berita tentangnya lintas website, penampilan fisiknya tak jauh berbeda dengan 20 tahun lalu! Yah, mungkin juga hal itu salah satu “bonus-NYA” sejak ia telah menjadi muallaf.
Kuingat pula 4 tahun lalu saat suamiku harus dinas ke Johannesburgh, south-africa, di masjid terbesar dengan ribuan hektar tanah sekitarnya tak perlu ada tanda-tanda palang atau tanda kepemilikan tanah, semua penduduk tau bahwa seluruh tanah luas yang mengelilingi masjid itu adalah kepunyaan Mr. Fulan. Beliau ini kerjanya hanya tinggal mengamati perputaran uang saja, bisa bebas saja 24 jam beliau berdiam di masjid itu, karena memang sudah sangat kaya raya. Semua gedung, bangunan milik pemerintah atau swasta di sekitar masjid harus membayar sewa tanah kepadanya, kontraknya berlaku 20 tahun hingga ratusan tahun! Bayangkan, riwayat turun-temurun pewaris keluarga Mr. Fulan tidak mau menjual sejengkal pun tanah tersebut sebagai usaha menjaga kemuliaan Islam di tanah itu.
Nasib yang berbeda dengan para penduduk di sekitar jalan Sudirman Jakarta puluhan tahun lalu, kan rumah-rumah mereka sudah digusur tuh, lalu Jakarta jadi beken dengan kemegahan gedung-gedungnya. Siapapun tak menduga, seorang Mr. Fulan sangat sederhana, jubahnya biasa-biasa saja, malah di rumahnya tak ada televisi, menyapu halaman masjid Johannesburgh sesekali, tidak mau disorot kamera (apalagi kamera wartawan), tidak suka ke restoran mewah, ternyata beliau adalah pemilik ribuan hektar tanah tersebut, kekayaan nominalnya ratusan juta dollar.
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Subhanalloh, anak-anak cucu setiap generasinya diajarkan menikmati kekayaan sejati : alam yang luas yang harus disyukuri, bukan diukur dari lembaran uang dan luasnya tanah yang beliau miliki. Pastilah semua orang penasaran pada sikap tawaduknya, menjadi seorang yang dimuliakan orang banyak tanpa perlu mengumbar-ngumbar harta kekayaan yang sebanyak itu (insya Allah kalah deh jumlah harta haram koruptor-koruptor dengan harta halal kepunyaan beliau), namun ternyata beliau sadar betul, Rasulullah SAW serta para sahabat sudah memberikan banyak keteladanan buat kita, bahwa “Segalanya hanya titipan Allah SWT saja...”
Allah SWT berfirman, "Hai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raf [7] :31)
Begitu pula beberapa tahun lalu, diriku mengenal Ummu ‘aisyah, wajahnya cantik dan masih tampak polos seperti anak remaja, padahal anak-anaknya sudah banyak. Penampilan Ummu ‘aisyah sederhana sekali, kerudungnya cuma beberapa buah, semua teman pasti hafal warna kerudung Ummu ‘aisyah, bajunya yang dipakai hanya berganti yang itu-itu saja. Saya sangat menyayangi dan menghormati beliau, ilmu agamanya sangat banyak, asyik diajak diskusi tentang anak-anak pula.
Suatu hari ada acara pengumpulan dana untuk saudara kita di Gaza, tanpa canggung Ummu ‘aisyah menyerahkan beberapa perhiasan serta segepok uang (karena kebetulan saya jadi bendahara, maka ia serahkan untuk segera saya catat saat itu), Subhanalloh... Uang tersebut kalau dihitung, malah bisa cukup buat modal memulai bisnis kerudung plus sewa lokasinya.
Dalam nurani ini, sungguh ‘kaya’ hati yaa Ummu ‘aisyah, padahal tas tanganmu pun kulihat robek di beberapa sudutnya, kaos kakimu juga sudah luntur warnanya, kerudungmu yang itu-itu saja—nampak kumal karena pudar warnanya.
Ummu ‘aisyah jauh lebih peduli dengan tabungan akhirat, tak mudah baginya berbelanja urusan dunia, dianggapnya hal yang kurang penting. Keperluan pribadinya dikesampingkan, beliau lebih mengutamakan membantu sesama, juga banyak keperluan anak-anak yang harus didahulukan.
Memang kita sering tak sadar, bisa jadi teman-teman atau saudara sekitar selalu dekat dan akrab karena pengaruh keduniaan, ‘kepentingan sejati’ menjadikan diri seseorang dimuliakan oleh orang lain.
Namun jika pergaulan mukmin sejati yang dilandasi ikatan cinta nan kuat karena Allah SWT, insya Allah tak memandang bagaimana penampilan saudara/saudarinya. Walaupun Ummu ‘aisyah mudah saja mengeluarkan infaq dan sedekah bagi teman yang memerlukan, beliau juga keras dan tegas menolak system ‘sogok-menyogok’ yang sering diganti nama “sedekah pelicin” itu. Makanya semua orang mengagumi dan sangat menghargai beliau, makna kaya dalam sudut pandangnya ialah hati ikhlas, selalu bersikap mudah melaksanakan infaq sedekah, dan menolong orang lain. Jadi jika kita menemukan orang yang susah mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, namun mengaku-ngaku sebagai orang kaya, berarti orang itu bohong donk, kekayaan sejati adalah banyak memberi. Kekayaan sesungguhnya adalah kontribusi yang diberikan kepada sesama, bekal yang diharapkan dapat menyelamatkan diri di yaumil hisab kelak.
“Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Sungguh beruntung hamba-hamba-Nya yang senantiasa kaya dalam keimanan dan sikap istiqomah di jalan Ilahi. Dan diri ini amat beruntung melihat pelajaran nyata dari mereka yang kaya raya tersebut, mereka yang senantiasa mengingatkan bahwa Allah ta’ala Sang Pemilik segala, apapun yang ada hanyalah amanah sementara. Serta mengingatkan akan contoh teladan kita, Rasulullahsholallohu ‘alaihi wa sallam yang mencontohkan kehidupan paling ideal dalam mencari perbekalan agar selamat di kampung akhirat.
“Barangsiapa yang menjadikan Akhirat sebagai harapannya, maka Allah akan memberikan kepuasan dalam hatinya, menghimpun segala impiannya, dan dunia pun akan mendatanginya dengan merunduk. Barang siapa yang menjadikan Dunia sebagai cita-citanya, maka Allah akan menjadikan kemiskinan di depan matanya, membuyarkan segala impiannya, dan dunia pun tidak akan mendatanginya melainkan apa yang telah ditentukan baginya.” (HR. Tirmidzi)
“Duhai Allah, Bimbinglah kami selalu, Letakkan dunia di tanganku, bukan di hatiku...”
Wallohu ‘alam bisshowab.
by : bidadari_Azzam
(bidadariazzam.blogspot.com @Krakow, 22 maret 2011)