Monday, 27 December 2010
MENGINSPIRASI DAN TERINSPIRASI
KATA TANPA KATA
Kata Tanpa Kata
dakwatuna.com – “Sesungguhnya ada beberapa orang munafik yang mengira Rasulullah telah wafat!” Lelaki itu berkata dengan suara keras, “Padahal sesungguhnya Rasulullah itu tidak akan mati! Dia hanya pergi menemui Tuhannya, sebagaimana Nabi Musa bin Imran pergi kepadaNya. Ia pergi meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Kemudian dia kembali kepada mereka setelah sebelumnya dikabarkan mati.”
“Demi Allah,” lanjutnya kepada orang-orang di depan masjid, “Rasulullah benar-benar akan kembali seperti yang telah dilakukan Musa. Lalu dia akan memotong kedua tangan dan kaki orang-orang yang telah mengira Rasulullah telah mati!”
Wahai Tuan dan Nyonya, siapa tidak mengenal lelaki bertubuh besar, tinggi, tegap, tegas, keras, dan botak ini. Dia adalah Umar bin Khathab. Seorang sahabat Rasulullah yang paling berani menghadapi kaum musyrikin. Seorang yang bashirah-nya mampu mendahului turunnya beberapa ayat Al Qur’an. Yang rasio dan daya pikirnya melebihi orang-orang yang berada di sekitarnya. Seorang mukmin yang sangat mampu membedakan yang hak dan yang bathil. Manusia yang ditakuti oleh syaithan di lorong-lorong kota Madinah. Seorang pencinta sejati yang mampu memper-kerja-kan cintanya, dari prioritas mencintai diri sendiri ke cinta utamanya pada Rasulullah. Dalam sejekap. Hanya sekejap saja mengubah arah cintanya kepada Rasulullah.
Umar hari itu sepertinya langit Madinah, benar-benar mendung bersama kabar kematian Rasulullah. Kabar itu seakan-akan petir di tengah musim kemarau. Mematahkan kesadaran para sahabat terhadap realita hidup. Seakan baru kemarin Rasulullah datang berhijrah ke kota itu. Masih terbayang di mata orang-orang Anshar tatkala Rasulullah di pasca Perang Bani Tsaqif berkata lembut, “Hai sekalian kaum Anshar, tidakkah kalian senang jika orang-orang itu pergi membawa kambing dan unta, sedangkan kamu sekalian pulang ke rumahmu membawa Rasulullah?”
Dan lelaki tua yang lain, yang hatinya begitu lembut. Yang biasa menangis di dalam shalat-shalatnya. Datang begitu mendengar apa yang tidak ingin didengarnya itu. Maka, ia pun masuk ke bilik putrinya di deretan bilik cinta itu. Sejurus kemudian ia keluar setelah yakin dengan kabar yang didengarnya. Dan masih didapatinya Umar bin Khathab masih saja berbicara keras dengan orang-orang di dalam masjid yang terhubung langsung dengan bilik-bilik itu.
“Duduklah, wahai Umar…!” pinta lelaki tua itu kepada Umar. Lembut saja.
Umar yang keras kepala itu tetap saja berbicara di depan orang-orang. Ia tidak mau mendengarkan permintaan lelaki tua itu, Abu Bakar. Umar tidak mau duduk. Sepertinya ia sangat terpukul dengan kematian sang kekasih.
Mendapati Umar terus saja berbicara seperti itu, Abu Bakar membaca kalimat syahadat. Orang-orang pun seakan tersadar. Orang-orang mulai datang mengerumuninya. Mereka meninggalkan Umar yang terus-terusan berbicara.
“Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad,” kata Abu Bakar, “Maka, sesungguhnya beliau telah mati. Dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan mati.”
“Muhammad itu,” kata Abu Bakar membaca firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 144, “Tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Maka, orang-orang seperti dibangunkan dari mimpinya mendengar ayat itu. Padahal mereka sangat tahu tentang ayat itu. Namun, rasanya hari ini mendung di langit hati mereka telah menutupi cahaya ayat itu dan menghilangkan kesadaran mereka pada kenyataan. Ibnu Abbas dan Abu Hurairah mengatakan bahwa para sahabat seolah-olah benar-benar belum tahu bahwa ayat itu pernah turun hingga dibacakan oleh Abu Bakar itu, lalu orang mengambilnya dari Abu Bakar, padahal ayat itu telah biasa mereka ucapkan.
“Demi Allah!” kata Umar bin Khathab sebagaimana dinukil Ibnul Musayyab dalam Shahih Bukhari, “Tidaklah aku mendengar Abu Bakar membacanya , kecuali aku tercengang hingga kedua kakiku tak mampu lagi menyanggaku. Kemudian aku terjatuh ke tanah pada saat ia membacanya, pada saat itu aku baru menyadari bahwa Rasulullah telah wafat.”
Padahal Umar dan para sahabat masih ingat betul bagaimana kesusahan mereka tatkala di Perang Uhud mereka mendengar kabar kematian Rasulullah yang dihembuskan kaum musyrikin. Pasukan muslimin pun gentar ditinggal mati oleh Rasulullah. Adalah Tsabit bin Ad Dahdah yang menyeru kaum muslimin kala kegentingan itu terjadi. Ia mengingatkan bahwa kematian Rasulullah adalah keniscayaan, dan menghadapinya dengan kebesaran jiwa adalah pilihan.
“Wahai kaum Anshar!” ia berteriak lantang sebagaimana dicatat dalam As Sirah Al Halabiyah, “Jika Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak mati. Berperanglah demi agama kalian karena sesungguhnya Allah akan memenangkan dan menolong kalian!”
Maka, mendengar seruan itu, sejumlah sahabat pun maju menyerang pasukan Khalid bin Walid. Ah, mereka semua mendahului kita menjemput syahid di mulut pedang dan tombak pasukan Khalid.
Maka beruntunglah ummat ini memiliki Abu Bakar dan Tsabit bin Ad Dahdah. Mereka menjadi corong kata-kata dan kesadaran atas sebuah peristiwa. Adalah Umar dan para sahabat yang merupakan manusia-manusia pilihan. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui apa-apa yang terjadi dengan turunnya ayat-ayat Al Qur’an. Namun, hari-hari mendung adalah hari-hari yang sendu dan sedih. Ada tekanan berat di dada mereka hingga apa-apa yang seharusnya ada di dalam diri mereka menjelma menjadi kekerdilan.
Saya pun yakin Tuan dan Nyonya adalah orang-orang luar biasa dengan kedalaman dan keluasan ilmu laksana segara India. Dan dengan kedalaman dan keluasan itu, sebenarnya Tuan dan Nyonya menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa pilihan hidup dalam menghadapi kesusahan dan kejadian hanya dua: sabar dan syukur. Tuan dan Nyonya pasti sudah hapal di luar kepala. Dan seharusnya, idealnya, Tuan dan Nyonya tahu cara berdiri sendiri tatkala badai cobaan dan musibah datang menggulung optimisme dan pandangan realistis yang ada. Tuan dan Nyonya seharusnya tahu cara menghibur diri sendiri dan membangkitkan semangat di dalam jiwa. Sebenarnya Tuan dan Nyonya sudah tahu, seperti Umar dan sahabat-sahabat Rasulullah yang lain.
Namun, kadangkala Tuan dan Nyonya membutuhkan orang lain untuk mengatakan apa yang sudah Tuan dan Nyonya ketahui itu. Kita membutuhkan seseorang yang mengatakan kata-kata yang sudah kita tahu. Seperti kata, “Bersabarlah…” atau “Jangan menangis..” atau “Allah selalu memberikan takdir terbaik bagi manusia…” atau “Saya harus melanjutkan hidup saya. Begitu juga Anda..” Kita sudah tahu dan hapal kata-kata ini, bahkan mungkin sangat hapal. Namun, kita kadang membutuhkan orang lain mengatakan itu kepada kita.
Atau jika Tuan tidak suka berkata-kata, Tuan bisa memilih kata tanpa kata. Sebuah pelukan hangat yang bersahaja dari seseorang yang mencinta Anda. Satu pelukan tanpa kata. Hanya cinta dari seseorang yang saling bersaudara. Saat itu, bolehlah Tuan berair mata bahagia. Atau sekadar mengentaskan kita dari duka lara dan derita, dan mengembalikan kita ke alam sadar jaga.
KENAPA HARUS WANITA SHALIHAH?
Kenapa Harus Wanita Shalihah?
dakwatuna.com – Bismillah..
Terkadang orang heran dan bertanya, kenapa harus mereka?
Yang bajunya panjang, tertutup rapat, dan malu-malu kalau berjalan..
Aku menjawab.. Karena mereka, lebih rela bangun pagi menyiapkan sarapan buat sang suami dibanding tidur bersama mimpi yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan lain saat ini..
Ada juga yang bertanya, mengapa harus mereka?
Yang sama laki-laki-pun tak mau menyentuh, yang kalau berbicara ditundukkan pandangannya.. Bagaimana mereka bisa berbaur…
Aku menjawab.. Tahukah kalian.. bahwa hati mereka selalu terpaut kepada yang lemah, pada pengemis di jalanan, pada perempuan-perempuan renta yang tak lagi kuat menata hidup. Hidup mereka adalah sebuah totalitas untuk berkarya di hadapan-Nya.. Bersama dengan siapapun selama mendatangkan manfaat adalah kepribadian mereka.. Untuk itu, aku menjamin mereka kepadamu, bahwa kau takkan rugi memiliki mereka, kau takkan rugi dengan segala kesederhanaan, dan kau takkan rugi dengan semua kepolosan yang mereka miliki.. Hati yang bening dan jernih dari mereka telah membuat mereka menjadi seorang manusia sosial yang lebih utuh dari wanita di manapun..
Sering juga kudengar.. Mengapa harus mereka?
Yang tidak pernah mau punya cinta sebelum akad itu berlangsung, yang menghindar ketika sms-sms pengganggu dari para lelaki mulai berdatangan, yang selalu punya sejuta alasan untuk tidak berpacaran.. bagaimana mereka bisa romantis? bagaimana mereka punya pengalaman untuk menjaga cinta, apalagi jatuh cinta?
Aku menjawab..
Tahukah kamu.. bahwa cinta itu fitrah, karena ia fitrah maka kebeningannya harus selalu kita jaga. Fitrahnya cinta akan begitu mudah mengantarkan seseorang untuk memiliki kekuatan untuk berkorban, keberanian untuk melangkah, bahkan ketulusan untuk memberikan semua perhatian.
Namun, ada satu hal yang membedakan antara mereka dan wanita-wanita lainnya.. Mereka memiliki cinta yang suci untuk-Nya.. Mereka mencintaimu karena-Nya, berkorban untukmu karena-Nya, memberikan segenap kasihnya padamu juga karena-Nya… Itulah yang membedakan mereka..
Tak pernah sedetikpun mereka berpikir, bahwa mencintaimu karena fisikmu, mencintaimu karena kekayaanmu, mencintaimu karena keturunan keluargamu.. Cinta mereka murni.. bening.. suci.. hanya karena-Nya..
Kebeningan inilah yang membuat mereka berbeda… Mereka menjadi anggun, seperti permata-permata surga yang kemilaunya akan memberikan cahaya bagi dunia. Ketulusan dan kemurnian cinta mereka akan membuatmu menjadi lelaki paling bahagia..
Sering juga banyak yang bertanya.. mengapa harus mereka?
Yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dibanding ke salon, yang lebih sering menghabiskan harinya dari kajian ke kajian dibanding jalan-jalan ke mall, yang sebagian besar waktu tertunaikan untuk hajat orang banyak, untuk dakwah, untuk perubahan bagi lingkungannya, dibanding kumpul-kumpul bersama teman sebaya mereka sambil berdiskusi yang tak penting. Bagaimana mereka merawat diri mereka? bagaimana mereka bisa menjadi wanita modern?
Aku menjawab..
Tahukah kamu, bahwa dengan seringnya mereka membaca al Qur’an maka memudahkan hati mereka untuk jauh dari dunia.. Jiwa yang tak pernah terpaut dengan dunia akan menghabiskan harinya untuk memperdalam cintanya pada Allah.. Mereka akan menjadi orang-orang yang lapang jiwanya, meski materi tak mencukupi mereka, mereka menjadi orang yang paling rela menerima pemberian suami, apapun bentuknya, karena dunia bukanlah tujuannya. Mereka akan dengan mudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan orang banyak dibanding menghabiskannya untuk diri sendiri. Kesucian ini, hanya akan dimiliki oleh mereka yang terbiasa dengan al Qur’an, terbiasa dengan majelis-majelis ilmu, terbiasa dengan rumah-Nya.
Jangan khawatir soal bagaimana mereka merawat dan menjaga diri… Mereka tahu bagaimana memperlakukan suami dan bagaimana bergaul di dalam sebuah keluarga kecil mereka. Mereka sadar dan memahami bahwa kecantikan fisik penghangat kebahagiaan, kebersihan jiwa dan nurani mereka selalu bersama dengan keinginan yang kuat untuk merawat diri mereka. Lalu apakah yang kau khawatirkan jika mereka telah memiliki semua kecantikan itu?
Dan jangan takut mereka akan ketinggalan zaman. Tahukah kamu bahwa kesehariannya selalu bersama dengan ilmu pengetahuan.. Mereka tangguh menjadi seorang pembelajar, mereka tidak gampang menyerah jika harus terbentur dengan kondisi akademik. Mereka adalah orang-orang yang tahu dengan sikap profesional dan bagaimana menjadi orang-orang yang siap untuk sebuah perubahan. Perubahan bagi mereka adalah sebuah keniscayaan, untuk itu mereka telah siap dan akan selalu siap bertransformasi menjadi wanita-wanita hebat yang akan memberikan senyum bagi dunia.
Dan sering sekali, orang tak puas.. dan terus bertanya.. mengapa harus mereka?
Pada akhirnya, akupun menjawab…
Keagungan, kebeningan, kesucian, dan semua keindahan tentang mereka, takkan mampu kau pahami sebelum kamu menjadi lelaki yang shalih seperti mereka..
Yang pandangannya terjaga.. yang lisannya bijaksana.. yang siap berkeringat untuk mencari nafkah, yang kuat berdiri menjadi seorang imam bagi sang permata mulia, yang tak kenal lelah untuk bersama-sama mengenal-Nya, yang siap membimbing mereka, mengarahkan mereka, hingga meluruskan khilaf mereka…
Kalian yang benar-benar hebat secara fisik, jiwa, dan iman-lah yang akan memiliki mereka. Mereka adalah bidadari-bidadari surga yang turun ke dunia, maka Allah takkan begitu mudah untuk memberikan kepadamu yang tak berarti di mata-Nya… Allah menjaga mereka untuk sosok-sosok hebat yang akan merubah dunia. Menyuruh mereka menunggu dan lebih bersabar agar bisa bersama dengan para syuhada sang penghuni surga… Menahan mereka untuk dipasangkan dengan mereka yang tidurnya adalah dakwah, yang waktunya adalah dakwah, yang kesehariannya tercurahkan untuk dakwah.. sebab mereka adalah wanita-wanita yang menisbahkan hidupnya untuk jalan perjuangan.
Allah mempersiapkan mereka untuk menemani sang pejuang yang sesungguhnya, yang bukan hanya indah lisannya.. namun juga menggetarkan lakunya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang malamnya tak pernah lalai untuk dekat dengan-Nya.. yang siangnya dihabiskan dengan berjuang untuk memperpanjang nafas Islam di bumi-Nya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang cintanya pada Allah melebihi kecintaan mereka kepada dunia.. yang akan rela berkorban, dan meninggalkan dunia selagi Allah tujuannya.. Yang cintanya takkan pernah habis meski semua isi bumi tak lagi berdamai kepadanya.. Allah telah mempersiapkan mereka untuk lelaki-lelaki shalih penghulu surga…
Seberat itukah?
Ya… Takkan mudah.. sebab surga itu tidak bisa diraih dengan hanya bermalas-malasan tanpa ada perjuangan…
Taipei, 02 Juni 2010
KEBERSADARJAGAAN MENCINTAI
Kebersadarjagaan Mencintai
dakwatuna.com – “Wahai Rasulullah,” kata gadis muda itu, “Sungguh, Engkau telah memberi kesempatan kepada saya terhadap apa yang dilakukan oleh ayah saya. Saya setuju dengan apa yang telah ayah saya lakukan.”
Begitulah kira-kira jawaban yang disampaikan oleh sang gadis muda itu tatkala Rasulullah memberikan hak khiyar (memilih) untuk memutuskan tentang pernikahan yang dilakukan terhadapnya oleh sang ayah tanpa persetujuannya. Diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bahwa sebelumnya sang gadis menemuinya dan menceritakan kondisi permasalahan yang dialaminya.
“Ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk mengangkat derajatnya dengan jahatnya. Dan aku tidak suka,” kisahnya.
‘Aisyah tidak dapat memutuskan soal itu. “Tunggulah di sini sampai Rasulullah datang,” katanya. Maka, kemudian datanglah Rasulullah kepada ‘Aisyah dan gadis muda itu. Mengalirlah kisah pilu si gadis itu kepada Rasulullah, ia menginginkan penyelesaian dari Rasulullah tentang pemaksaan pernikahan yang dilakukan ayahnya terhadapnya. Mendengar penuturan itu, Rasulullah pun mengirim utusan untuk memanggil ayah si gadis.
Di hadapan sang ayah, Rasulullah memutuskan bahwa pemaksaan yang dilakukan sang ayah tidak berlaku. Beliau juga menyerahkan keputusan itu kepada sang gadis. Namun, jawaban sang gadis memang sangat mengagumkan dan menunjukkan kecerdasannya.
“Ya Rasulullah,” jawabnya, “Saya setuju dengan apa yang ayah saya lakukan, tapi saya hanya ingin tahu apakah perempuan berhak untuk menentukan pernikahannya.”
Jawaban yang cerdas dan penuh hikmah itu dicatat oleh Imam An Nasa’i dari ‘Aisyah. Sementara itu Abdullah ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits serupa sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad shahih nomor 1520. Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Sang gadis memang cerdas dalam mengambil tindakan sang ayah yang memaksanya untuk dinikahi oleh lelaki pilihan sang ayah. Ia menyadari bahwa tujuan sang ayah menikahkannya dengan lelaki itu bukan untuk kebaikan dirinya maupun untuk kebaikan kehidupan dan agamanya. Ia sangat sadar bahwa sang ayah menikahkannya semata-mata agar derajat sang ayah dapat terangkat melalui hubungan kekerabatannya dengan anak saudaranya itu. Dan si gadis menganggap bahwa perbuatan sang ayah itu adalah perbuatan yang jahat. Maka, ia mencoba meminta kepastian hukum kepada Rasulullah dengan mendatangi Ummul Mu‘minin ‘Aisyah agar dapat dipertemukan dengan Rasulullah dan memutuskan hukum terkait pernikahannya yang terpaksa.
Rasulullah kemudian memutuskan perkaranya dan memberinya hak khiyar atas pernikahan itu. Namun, sang gadis malah menjawab bahwa ia telah menerima keputusan sang ayah yang memaksanya menikah dengan anak saudaranya itu. Ia memutuskan bahwa ia menerima pernikahan tersebut dan bersedia menjadi suami bagi sepupunya itu meskipun ia tidak menyukainya, sebagaimana sebelumnya ia sampaikan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah.
Ia mengambil sebuah keputusan atas pilihan yang telah disodorkan oleh Rasulullah: menerima pernikahan itu atau menolaknya. Dan keputusannya berakhir dengan kemantapan, ia memilih dan memutuskan untuk menerima pernikahan itu. Di sini, ia sangat sadar bahwa dengan mengambil keputusan itu berarti ia siap menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang tidak disukainya, bahkan mungkin dibencinya. Namun, dengan kebulatan keputusan itu, sebuah keputusan yang diambilnya secara sadar jaga, maka ia juga telah memilih sebuah konsekuensi logis dengan menjadi seorang istri dari seorang lelaki. Dan konsekuensi itu adalah ketaatan, pengabdian, bakti, pengorbanan, hak dan kewajiban secara psikis dan biologis, serta kewajiban mencintai. Kewajiban mencintai. Sebuah keputusan yang diambilnya secara sadarjaga.
Sang gadis telah melalui fase dalam sebuah perjalanan cinta yang senantiasa ada: pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Tindakannya dalam memilih salah satu keputusan, mengambil keputusan, dan menerima serta melaksanakan konsekuensi dari keputusan itu adalah sebentuk kebersadarjagaan mencintai, mencintai sang suami yang sebelumnya dibencinya.
Tidak jauh berbeda setelah masa-masa itu. Tatkala Utsman bin Affan menjadi Khalifah Rasul yang ketiga, menggantikan posisi Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang syahid di tangan kafir Majusi. Kala itu ia memutuskan untuk menikah yang kesekian kalinya. Usianya memang tidak muda dan bahkan sudah sangat terbilang tua. Saat itu, ia telah berusia delapan puluh tahun. Rambutnya telah memutih dan kekuatan jasadnya tidak lagi seperti pemuda.
Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa ia menikahi seorang gadis belia yang baru mekar. Usianya baru delapan belas tahun tatkala pernikahan itu terjadi. Namanya adalah Nailah binti Al Qurafashah atau Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah, seorang gadis cantik dari negeri Syam. Bukan hal mudah bagi keduanya untuk saling membersamai dalam singgasana pernikahan mengingat usia mereka yang terpaut sangat jauh, delapan puluh dan delapan belas. Namun, keduanya telah memutuskan untuk mencintai.
“Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini,” kata Utsman tatkala pertama kali menyambut Nailah. “Apakah engkau tak keberatan menikah dengan seorang pria tua bangka?”
“Saya termasuk perempuan yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua,” jawab Nailah sambil tertunduk. Rasa malu menggelayuti hatinya.
“Namun, aku telah jauh melampui ketuaanku,” kata Utsman kembali. Ia seakan menguji kesungguhan keputusan gadis cantik yang mau dinikahinya itu, menelisik kesungguhan keputusannya untuk mencintai lelaki tua seperti dirinya.
“Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah,” jawab Nailah sambil tersenyum, “Dan itu jauh aku lebih sukai dari segala-galanya.”
Selanjutnya Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti atas keputusan mereka bersekutu dalam ikatan pernikahan itu. Utsman mencintai Nailah dan Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati yang senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.
Nailah yang disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan semakin mekar. Ia menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata dan sangat menguasai sastra. “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku,” kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah. Darinya, Utsman memperoleh putri bernama Maryam dan Anbasah.
Sejarah membuktikan kejujuran cinta mereka. DR. Sa’id bin ‘Abdul ‘Azhim menceritakan untuk kita dalam Mu’asyarah bil Ma’ruf bukti kerja cinta mereka. Tatkala para pemberontak mendatangi Khalifah Utsman bin Affan di rumahnya untuk membunuhnya, bangkitlah istri yang dicintai dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan membiarkan rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha menggoda sifat kejantanan para pemberontak tersebut. Spontan Utsman berteriak dan membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu! Demi umurmu, kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan rambutmu.”
Ketika salah seorang pemberontak masuk ke dalam rumah dan membabat Utsman yang sedang membaca mushaf Al Qur’an hingga darahnya menetes ke mushaf itu, Nailah tidak tinggal diam. Seorang pemberontak lain yang menerobos masuk dicegah oleh Nailah dan merebut pedang yang dibawa si pemberontak itu. Namun, pemberontak itu dapat merebut pedangnya kembali. Ia menebaskan pedangnya dan memotong jari-jemari lentik Nailah yang melindungi sang suami. Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Nailah menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Utsman untuk melindungi tubuh sang suami dari sabetan pedang para pemberontak hingga jarinya tertebas.
Para pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang terbaik bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta, meski harus berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan kemudian, potongan jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan Mu’awiyah di Syam untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak dalam membunuh Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan.
Utsman demikian dalam mencintai Nailah. Karena itulah Nailah pun merasakan dan mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta Utsman kepada Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu menggerakkan dirinya menjadi tameng bagi kesewenang-wenangan para pembunuh terhadap suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaatnya. Utsman senantiasa membuktikan bahwa ia mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka, semakin luaslah ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami. Demikian pula kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu. Ruang hatinya terlalu penuh dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu terisi oleh cinta yang lain.
Maka, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan pinangannya untuk janda Utsman bin Affan itu, Nailah dengan tegar menjawab, “Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Bahkan, kemudian ia merusak wajahnya yang cantik untuk menolak semua peminang yang datang kepadanya. Ia memutuskan untuk hanya mencintai Utsman, lelaki tua itu.
Mencintai adalah sebentuk pernyataan kesiapan diri untuk melakukan kerja-kerja cinta. Maka, mencintai bukanlah tentang romantisme, melankolisme, erotisme, kemesraan, khayalan, dan keindahan semata, namun tentang kerja cinta dan pertaruhan kepribadian serta integritas si pecinta, walaupun kita tidak menafikkan eksistensi hal-hal indah tersebut. Mencintai adalah pekerjaan yang besar dan berat. Karena itu, mencintai adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari hal ini.
Dalam Serial Cinta, Anis Matta mengisahkan tentang pecinta yang tak kalah dahsyat dalam mencintai. Ini tentang seorang perempuan yang sama sekali tidak cantik. Ia memiliki wajah yang jelek. Kulitnya berwarna hitam keriput. Usianya sudah tua. Dipadu dengan kenyataan bahwa dia seorang diri yang tidak kaya. Rumah yang dimilikinya seperti rumah hantu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menikah. Sebabnya tentu saja sederhana, ia tidak menarik bagi seorang lelaki pun untuk menikahinya.
Sebagai seorang perempuan, tentu ada keinginan di hatinya untuk membina rumah tangga dengan seorang lelaki, berbahagaia bersamanya, dan menyandang status sebagai seorang istri. Ia sangat ingin menjadi seorang istri. Maka, ia bertekad untuk menjadi istri bagi seorang lelaki. Dikumpulkannya harta berupa emas dalam jangka waktu yang lama. Ia berencana ‘membeli’ seorang suami dengan emas-emas yang dimilikinya itu. Dan gayung pun bersambut.
Seorang lelaki bersedia menikahinya. Ia adalah seorang lelaki yang tampan dan kaya. Sungguh, ini adalah keputusan yang besar bagi sang lelaki untuk menikahi perempuan ini. Namun, ia tetap kukuh untuk menikah. Dan pernikahan pun terjadi.
Di rumah sang perempuan yang dinikahinya, kegamangan kembali muncul di hati sang lelaki. Ia meragukan kemampuan dirinya untuk menjalani keputusannya. Sejenak. Ia kembali menguatkan tekadnya dan teguh pada keputusannya. Ia sudah memutuskan untuk menikahi dan mencintai perempuan itu. Ia telah mengambil keputusan dan siap dengan segala konsekuensinya.
“Ini emas-emasku yang sudah lama ku tabung, pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi istri,” kata si perempuan itu. Ia merasa bahwa ia memang hanya pantas untuk ‘membeli’ suami dan tidak pantas dicintai oleh seorang lelaki.
Namun, jawaban lelaki itu mengejutkannya. Lelaki tampan dan kaya itu malah menjawab, “Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”
Semua orang terheran-heran, tulis Anis Matta. Keluarga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian, orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng, “Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kulit hitamnya dan wajah jeleknya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik.”
Bisa jadi kita hanya kan berdecak kagum menyaksikan hal-hal ajaib semacam ini. Namun, jika kita memahami bahwa seseorang yang memilih sebuah pilihan, mengambil kuputusan, dan siap menerima konsekuensi logis atas pilihan tersebut, maka tidak ada hal yang ajaib bagi kita. Kisah-kisah cinta yang dahsyat itu menjadi logis karena pemahaman akan kerja cinta mereka yang sebenarnya sederhana tapi melelahkan itu: mencintai.
Mungkin kita terlalu sering menyaksikan orang-orang yang merasai cinta di dalam hidup mereka. Terlena dengan kegembiraan, kebahagiaan, romantisme, kemesraan, erotisme, dan keterlukaan terus-menerus. Terlalu sering kita menyaksikan orang-orang yang berbunga-bunga dan seakan menjadi kehilangan akal sadarjaganya tatkala ia mengaku sedang jatuh cinta. Mereka mengaku mencintai seseorang. Namun, tingkahlaku dan kesadarannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia mencintai. Benar bahwa mereka merasakan cinta, tapi belum tentu ia mencintai. Karena cinta adalah kata benda, dan mencintai adalah kata kerja. Kebersadarjagaan, keinginan, kemauan, keputusan, kemampuan, dan tindakan mencintai. Semua orang dapat merasakan cinta, tapi tidak semuanya dapat mencintai seseorang. Bisa jadi Kita termasuk orang yang sudah ribuan kali jatuh cinta, tapi mungkin sama sekali belum pernah mencintai seseorang. Ya, belum pernah sekali pun mencintai. (hdn)
KEYAKINAN DAN KESABARAN
Keyakinan dan Kesabaran
dakwatuna.com -Keyakinan, adalah kesederhanaan. Sebuah kesederhanaan yang lahir dari kuatnya jiwa dan karakter seseorang. Keyakinan juga yang membuat Rasulullah, tak pernah berhenti berdo’a untuk penduduk thaif meski lemparan batu, hinaan hingga penolakan terhadap beliau bersama risalahnya. Keyakinan juga yang menumbuhkan kecintaan yang membara seorang Khalid bin Walid dengan dinginnya malam ketika perang dibanding bermesraan bersama seorang gadis cantik. Keyakinan pula yang membuat Ali bin abi Thalib dengan berani menggantikan Rasulullah ketika beliau hendak dibunuh oleh kaum Quraisy. Keyakinan itu tumbuh.. kuat mengakar.. Lahir dari keluhuran budi, kokohnya karakter, dan bersumber dari dentuman cinta mengabadi yang tak pernah padam untuk Allah dan jihad di jalan-Nya.
Keyakinan adalah teman setianya gairah yang selalu bersumber dari cinta. Keyakinan adalah kekuatan yang takkan pernah habis untuk selalu memberi energi bagi jiwa untuk menunggu, “membangun”, menguatkan, hingga berbagai defenisi tindakan yang terkadang tak bisa diterima oleh akal. Keyakinan hadir seperti sumber cahaya, ia adalah sumbu lilin yang terus terbakar, ia adalah sumbu sinaran yang menjadi alat untuk memberikan ruang terangnya.
Jika keyakinan adalah alasan terbesar seseorang untuk bertahan. Maka pasangan jiwanya adalah kesabaran. Kesabaranlah yang membuat orang untuk terus bersama dengan keyakinannya. Jika keyakinan adalah sumbu untuk memberikan cahaya, maka kemampuan untuk menerangi selama mungkin adalah sebuah defenisi sederhana tentang kesabaran. Kesabaran selalu menghasilkan berjuta pesona bagi sejarah. Bagaimana Sayyid Qutb lebih memilih untuk bersabar bersama dengan siksaan penjara di zamannya, kesabarannya-lah yang membuat cerita jihad menggelora di dalam dada jutaan pejuang di seantero mayapada. Bagaimana Yusuf AS, yang lebih memilih penjara agar mampu terus mengenal-Nya. Bagaimana sumayyah meneladani semua wanita dengan semangat jiwanya untuk terus bersabar menahan siksaan kaum kafir hingga menjadi syuhada pertama dalam Islam. Mereka adalah karakter-karakter yang menyejarah.. selalu indah untuk dikenang.
Gabungan antara keyakinan dan kesabaran akan menghasilkan semangat yang takkan pernah padam. Keberanian akan menjadi temannya, kesolehan akan menjadi pakaian mereka, kebeningan hati akan selalu mengisi hidup mereka, dan hasilnya… Karya-karya besar bagi peradaban akan tercipta dari segala bentuk usaha mereka.
Yakinlah… bahwa Allah takkan pernah menyia-nyiakan segala usahamu.. Bersabarlah, hingga kelak… Ketika sabarmu telah habis masanya.. Perbahuilah terus ia dengan sebuah KEYAKINAN… Bahwa Allah takkan pernah membuatmu kecewa…
O Allah, I wanna thank you
I wanna thank You for all the things that you’ve done
You’ve done for me through all my years I’ve been lost
You guided me from all the ways that were wrong
I wanna thank You for bringing me home
Alhamdulillah, Elhamdulillah
All praises to Allah, All praises to Allah
Alhamdulillah, Elhamdulillah
All praises to Allah, All praises to Allah.
-Maher Zain-