Tuesday, 7 September 2010

Indahnya Ramadhan di Bumi Para Nabi

Indahnya Ramadhan di Bumi Para Nabi

E-mail Print PDF

Di Mesir saat Ramadhan masyarakatnya sibut beramal dan berinfak sebanyak-banyaknya. Sementara di Indonesia, sibuk jualan atau ngabuburit

JANGAN ditanya kebahagiaanku berpuasa di bumi kinanah, bumi seribu menara ini. Sangat jauh apa yang kurasakan dengan berpuasa di negeri sendiri, Indonesia.

Aku pernah merasakan berpuasa di Indonesia, tahun 2008. Duh,..indahnya berpuasa di negeri sendiri tidak begitu kurasakan. Apakah yang kurang di negeriku ini? Entahlah, tapi “rasa” itu yang belum kelihatan, seperti ada yang kurang.

Siangnya suasana biasa-biasa saja, malamnya pas kebetulan aku tinggal di Bukittinggi, tepatnya di sebuah kampung bernama Biaro. Mungkin suasana yang kurasakan ini tidak semuanya ada di setiap daerah. Malamnya, shalat di masjid, dengan cuaca yang kadang hujan, kadang-kadang mati lampu, dan tak jarang terasa gempa kecil-kecilan. Dan kadang disertai perasaan cemas, jangan-jangan ada gempa. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai sebulan aku di Kairo, Mesir.

Akibat bawaan seringnya gempa di Sumatera Barat, seakan-akan bumi Kairo pun bergoyang-goyang terus.

Undangan maidaturrahman kebiasaan negeri para nabi ini, misalnya, di mana-mana ada suguhan berbuka puasa bersama. Di jalanan, di masjid-masjid dan di mana saja, bahkan saat dalam bis, saat naik taksi, kita di stop hanya sekedar untuk mendapat bagian makanan kotak buat buka puasa. Pokoknya banyak yang menawarkan makanan untuk buka puasa. Hal-hal seperti ini, tak pernah kurasakan di Indonesia.

Di Indonesia yang ada tawaran untuk membeli makanan buat buka puasa. Beda dengan di Mesir, tak ada yang berjualan makanan, paling minuman juice segar. Namun, yang banyak adalah tawaran gratis makanan, plus minuman buat buka puasa, dan tak jarang sekaligus buat sahur.

Bulan Ramadhan di Mesir adalah ajang buat beramal, beribadah, berinfak sebanyak-banyaknya, sementara di Indonesia adalah ajang buat berjualan, berbisnis, atau ngabuburit.

Suara imam yang syahdu, dengan isak tangis para jamaah, kekhusyukan jamaah saat mendengarkan imam membaca al-Quran, adalah tradisi Ramadhan di Mesir. Tak ada yang ayat-ayat pendek saat tarawih, kebanyakan ayat panjang, dan tak jarang satu juz dihabiskan dalam satu malam.

Aku suka mengikuti yang satu juz satu malam ini, sebab imamnya syahdu, persis Imam Masjidil Haram, di mana ada para jamaah yang sambil memegang al-Quran mengikuti bacaan Imam, ada yang berdiri, dan tak sedikit para orangtua mengikutinya dengan hidmat sambil duduk.

Jamaahnya sangat ramai, mulai awal sampai akhir. Bahkan semakin terakhir semakin ramai, karena mereka meyakini akan datangnya 10 terakhir malam Lailatul Qadar. Hal-hal semacam inilah yang tak kurasakan di Indonesia. Di Indonesia, semakin akhir Ramadhan, jamaahnya makin sepi pengunjung. Kayak ekor tikus, yang semakin ke ujung semakin menciut, mungkin sibuk mempersiapkan kue dan baju-baju lebaran. Sementara di Mesir, kesibukan semacam itu tak kelihatan. Bukan tak ada kue lebaran. Bahkan sangat banyak, tapi mereka tak membuatnya, karena akan mengurangi ibadah shalat tarawih di masjid.

Masjid Penuh

Suasana Ramadhan di Kairo begitu indah kurasakan, sampai-sampai aku rasanya tak memiliki waktu buat melihat FB, email kecuali sesaat. Saat pas aku lagi ingin tahu berita di Indonesia, atau teman-teman dan saudara, baru aku membuka internet.

Waktuku lebih banyak aku habiskan di dalam masjid, mulai dari pukul 9-10 pagi, sampai pukul 11 malam, kadang sampai pukul 1 dini hari, kalau pas keesokan harinya hari libur sekolah anak-anakku, karena pagi-malam diisi dengan tadarrusan bersama.

Di masjid Kairo, anak-anak remaja juga sibuk bertadarrusan selesai shalat tarawih, bapak-bapaknya pun tak ketinggalan. Termasuk ibu-ibu juga bikin kelompok tersendiri, sehingga penuhlah semua masjid dengan kelompok jamaah tadarrusan. Di masjid Mesir, banyak yang i’tikaf sambil membaca al-Quran dengan khusyuknya.

Aku pernah shalat di samping ibu-ibu Mesir. Mereka benar-benar khusyu’ saat shalat, sampai air mata mereka berlinang-linang mendengarkan imam membaca al-Quran, dan tak jarang kulihat mulutnya juga mengikuti bacaan al-Quran tersebut, mungkin mereka sudah hafal.

Alhamdulillah, karena secara umum aku paham arti dan makna isi kandungan al-Quran, aku suka mengikuti bacaan shalat 1 juz satu malam itu. Rasanya tak begitu sulit memahami dan tak perlu capek harus berlama berdiri mendengarkan imam membacanya. Ini pun dilaksanakan oleh Rasulullah, di mana setiap bulan Ramadhan tiba, Malaikat Jibril bersama Rasulullah membaca/mengkaji al-Quran.

Mungkin ini sebabnya kenapa orang Mesir jiwa sosialnya cukup tinggi, karena setiap tahun mereka mengkaji ulang al-Quran secara keseluruhan, bukan di bulan suci Ramadhan saja. Di bis-bis pun mereka membaca al-Quran, dan ini tak kurasakan sama sekali di Indonesia, yang ada malah lantunan musik yang kadang memekakkan telingaku.

Jangan pernah takut tak akan makan di negeri para Kinanah di bulan suci Ramadhan ini, orang Mesir sangat suka mendermakan hartanya buat fakir miskin, terutama mahasiswa/mahasiwa penuntut ilmu fi sabilillah. Mereka sangat care akan hal ini, terutama di bulan suci Ramadhan ini. Dan yang aku salutkan di sebahagian besar orang Mesir, merasa dirinya akan dekat waktu ajalnya, sehingga biasanya mereka berwasiat untuk mewakafkan hartanya di jalan Allah. Apakah itu untuk pembangunan masjid atau apa saja.

Bukan seperti kita, kalau mau meninggal, yang difikirkan adalah apakah yang akan kutinggalkan dari hartaku buat anak-anakku? Tak terfikir, apakah harta yang akan kuwakafkan kelak saat aku meninggalkan dunia fana ini?

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah di Mesir ini. Khusus bagi masyarakat Indonesia yang ada di daerah Dokki, setiap malam selesai tarawih, ada makanan ringan disediakan, semacam bakso, empek-empek, dll. Setiap malam, sponsor makanan tersebut bergantian. Misalnya pihak Dubes hari pertama, sampai local staff KBRI Kairo, dan juga berasal dari sebahagian masyarakat yang mau ikut serta menyumbang menjadi sponsor.

Malamnya sebagian bapak, remaja, dan ibu, melakukan tadarrusan 1 juz dalam satu malam. Kalau ibu-ibunya ditambah pagi harinya 2 juz satu hari, dan para anak serta remaja hanya beberapa lembar saja, karena mereka harus belajar.

Di luar Ramadhan selesai shalat zhuhur di sekolah Indonesia Kairo selalu membaca al-Quran. Semua dengan suasana ibadah, kekeluargaan, dan tak jarang buka bareng bersama-sama. Mengkaji al-Quran cukup diminati oleh masyarakat Mesir dan Indonesia yang ada di Mesir ini, terlebih lagi bulan penuh berkah ini. Seakan-akan bulan suci Ramadhan adalah bulannya al-Quran, dan bulannya bertebaran para dermawan yang menyumbangkan sebahagian hartanya buat fakir miskin, fisabilillah.

Mudah-mudahan, pengalaman hidup di negeri para Nabi ini bisa bermanfaat bagiku, keluarga, dan umat Islam lain. [Rakhimah, Mesir/hidayatullah.com]