Tuesday 21 September 2010

Berhaji Untuk Allah

Berhaji Untuk Allah

18/12/2008 | 19 Zulhijjah 1429 H | Hits: 2.732

Kirim Print

dakwatuna.com – Dan Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian untuk Allah“. (Al-Baqarah: 196)

Haji merupakan ibadah yang menampakkan sisi ‘ittiba’ aspek kepengikutan dan peneladanan kepada Nabi saw yang paling ketara. Sedikit saja dari amaliah haji seseorang yang bertentangan dengan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah bisa berakibat kepada sisi ‘mabrurnya’ haji seseorang terkurangi, bahkan tidak tercapai. Rasulullah saw bersabda tentang ini: “Ambillah dariku manasik haji”. Haji juga merupakan salah satu dari media pembelajaran ketakwaan dan ‘madrasah’ ibadah yang paling urgen. Disini akan nampak kuatnya hubungan dan pertalian hati seseorang dengan Allah yang merupakan harta kekayaan orang yang bertakwa dan modal orang yang ahli beribadah. Dalam hal ini, tauhid yang lurus merupakan buah sekaligus motifasi seseorang memenuhi undangan ke Baitullah.

Ayat di atas menurut As-Sa’di mengandung perintah untuk melaksanakan haji dengan ikhlas dan sebaik-baiknya sehingga mencapai kesempurnaan. Perintah ikhlas merupakan penjabaran dari nilai tauhid seseorang yang benar kepada Allah swt; bahwa hanya karena dan untuk Allah seseorang sukarela menjalankan seluruh manasik haji. Dalam konteks ini, terdapat beberapa aspek tauhid yang terekam dalam perjalanan ibadah haji, diantaranya: pertama, Talbiyah yang merupakan syiar ibadah haji mengandung makna meng-Esa-kan Allah dan meniadakan sekutu bagi-Nya dalam setiap amalan. Sahabat Jabir ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bertalbiyah meng-Esa-an Allah dengan benyak mengucapkan,

لَبَيْكَ اللّهُمَّ لَبَيْكَ، لَبَيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu.Tiada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan juga kekuasaan hanyalah kepunyaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”. (HR Muslim)

Dalam hadits yang lain Abu Hurairah ra. meriwayatkan, Rasulullah saw. melantunkan talbiyah dengan membaca

لَبَيْكَ إِلَهِ الْحَقَّ، لَبَيْكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, wahai Tuhan Kebenaran. Aku penuhi panggilan-Mu”.(HR Ibnu Majah). Talbiyah inilah yang paling banyak menyertai perjalanan haji seseorang yang mencerminkan kesiapan seseorang untuk senantiasa mentauhidkan Allah dalam seluruh kehidupannya. Tentu ini mengingatkan mereka agar senantiasa berada dalam koridor ‘tauhid’ kepada Allah swt.

Kedua, Nabi menekankan untuk beramal dengan ikhlas serta berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat riya’ (memperlihatkan amal perbuatan kepada orang lain) dan sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain). Hadits riwayat Anas ra menyebutkan bahwa Nabi saw. berdoa,

اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ

“Ya Allah, Ku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah”. (HR Ibnu Majah). Nabi saw juga mencontohkan agar membaca surat yang identik dengan tauhid dalam shalat dua rakaat selepas thawaf seperti dalam riwayat jabir bahwa Rasulullah senantiasa membaca قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ… dan قُلْ هُوَ الله أَحَدُ… . (HR Abu Daud)

Nabi saw berdoa di atas Bukit Shafa dan Marwa dengan membaca kalimah tauhid. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir ra., bahwa Nabi memulai (sa’i) dari bukit Shafa kemudian mendakinya hingga melihat Ka’bah. Lalu Nabi menghadap kiblat dengan mengucapkan kalimah tauhid dan takbir yaitu,

لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَإِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ …

“Tiada tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian hanyalah milik-Nya. dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah semata… ” Nabi melafalkan bacaan ini tiga kali hingga sampai bukit Marwa. Kemudian di atas bukit itu dia melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan di atas bukit Shafa. )HR Muslim (kemudian Nabi saw juga berdoa di Padang Arafah dengan membaca kalimah tauhid. “Sebaik-baik doa adalah doa di Padang Arafah, dan sebaik-baik bacaan yang aku dan para Nabi lantunkan adalah,

لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرِ

“Tiada tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian hanyalah milik-Nya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (HR Tirmidzi).

Ketiga, selain dari aktifitas fisik, maka aktifitas terbanyak dalam ibadah haji adalah doa. Dalam ibadah haji, doa mendapatkan tempat yang istimewa dalam amalan Nabi saw. Rasulullah berdoa memohon kepada Allah ketika tawaf (HR Abu Daud). Ketika berada di bukit Shafa dan Marwah. Bahkan beliau memanjangkan doa pada hari Arafah. Beliau juga ketika berada di atas untanya mengangkat kedua tangan hingga pada bagian dada seperti seorang fakir menengadahkan tangan meminta-minta.. Demikian pula di Muzdalifah sebagai al-Masy’ar al-Haram, Rasulullah memperpanjang munajat sesudah shalat fajar di awal waktu hingga menjelang matahari terbit. (HR Muslim). Di hari-hari tasyriq sesudah melempar dua jumrah yang pertama, Nabi menghadap kiblat dan berdiri lama seraya berdoa sambil mengangkat kedua tangan. (HR Bukhari, hadits no.1751). Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad menyatakan bahwa lama Nabi berdoa kira-kira selama membaca Surat Al-Baqarah).

Inilah beberapa riwayat mengenai petunjuk nabi dalam berdoa semasa menjalankan ibadah haji. Sedangkan mengenai wirid dan dzikir, hal ini tidak pernah lepas semenjak berangkat haji dari Madinah hingga pulang kembali. Nabi senantiasa mambasahi lisan dengan dzikir kepada Allah, banyak memuji dengan segala yang pantas bagi-Nya, baik berupa talbiyah, takbir, tahlil, tasbih ataupun tahmid, baik berjalan kaki ataupun berada di atas kendaraan dan dalam keadaan apapun. Lebih dari semua itu, dzikir kepada Allah adalah tujuan yang paling besar dari ibadah haji, sebagaimana dipahami dari firman Allah: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut(membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah [2]:199 – 201). Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”. (Al-Hajj [22]: 28).

Demikian kesadaran yang tertinggi bagi seseorang yang menjalankan ibadah haji bahwa ia sedang mengimplementasikan tauhid dalam kehidupannya. Berawal dari motifasi untuk Allah, bersama Allah, karena Allah dan hanya untuk Allah semata. Pertanyaan besar yang terus membayangi para jemaah haji yang baru pulang dari BaituLlah adalah apakah nuansa tauhid dan kerja keras untuk Allah akan tetap terpelihara pasca haji? Ataukah justru sebaliknya, greget ibadah tersebut hanya bersifat sementara dan berskala lokal (musiman) seperti juga semangat ibadah di bulan Ramadhan yang terhenti dengan berakhirnya bulan tersebut??. Allahu a’lam