Monday 27 September 2010

Perjalanan Hati di Wollongong (1000 dollar dan Kebahagiaan)


Pemandangan di salah satu sudut kota Wollongong, Australia.



Pagi yang cerah membuatku memutuskan untuk pergi ke kota Wollongong dan mengambil uang di ATM, karena aku ingat bahwa aku mempunyai janji kepada seseorang untuk membayar uang kos besok lusa. Minggu ini adalah pekan terakhir aku menumpang untuk tinggal di unit (rumah kontrakan) milik Pak Hudaya dan Pak Lukman di Graham Avenue.

Unit di Graham avenue ini adalah tempat tinggalku yang kedua setelah selama lima hari aku menumpang tinggal di rumah Bapak Novera di Graduate House (Nama salah satu unit milik University of Wollongong). Aku merencanakan untuk pindah kost ke tempat baru, karena Pak Lukman akan kembali dari Indonesia, dan kamar yang sekarang kutempati adalah kamar beliau.

Tiga minggu sudah aku tinggal dikota Wollongong ini. Kota yang terletak di New South Wales (negara bagian Australia) ini merupakan salah satu kota tempat tujuan para pelajar dari seluruh dunia untuk menuntut ilmu. Hampir semua tetangga unit di Graham Avenue ini adalah international student dari University of Wollongong.

Hari ini aku putuskan untuk mengambil uang sebanyak seribu dollar Australia. Aku harus mengambil uang lebih banyak dari biasanya karena besok lusa aku rencanakan untuk pindah ketempat kost yang baru, dan aku harus membayar uang sewa kost yang baru tersebut sebesar 890 dollar Australia.

Akomodasi atau penginapan disini memang tergolong mahal, karena kebanyakan harus dibayar dimuka minimal untuk 6 minggu kedepan. Setelah mengambil uang aku kembali kekampus karena aku harus mengikuti kuliah. Hari ini aku kuliah di kelas besar, dengan kapasitas mahasiswa sebanyak lebih dari 150 mahasiswa.

Bentuk ruang kelas yang mirip dengan theatre (gedung bioskop) membuat materi perkuliahan dapat didengar dan disaksikan oleh seluruh mahasiswa yang hadir, mulai dari depan sampai bangku paling belakang. Tak terasa kuliah berakhir lebih cepat dari biasanya,akupun bergegas keluar dari ruang kelas dan berjalan pulang berbarengan dengan teman-teman dari Indonesia.

Namun tanpa aku sadari, aku kehilangan dompet yang aku taruh di saku belakang celana, aku baru sadar ketika akan menaiki bis. “Astaghfirulloh Haladziim….”, dompetku hilang! Teriakku pelan Aku coba untuk mengecek di dalam tas dan saku yang lain. ..

Aku lalu berlari kembali kekelas dengan harapan menemukan dompet yang hilang tersebut, karena dalam dompet tersebut terdapat uang yang akan aku pakai untuk membayar kost besok lusa.

Dengan dibantu Bapak Zaka (teman satu kelas yang berasal dari Indonesia) aku teliti satu persatu kursi, meja dan lantai kelas. Aku berputar-putar didalam kelas dan mencoba menyisir jalan tempat lewatku. Tapi akhirnya aku menyerah, dan harus memasrahkan semuanya pada Alloh SWT.

Badanku lemas, karena baru kali ini aku kehilangan uang sebanyak ini, dalam hati aku “protes” pada Alloh SWT, Yaa Alloh, kenapa engkau begitu kejam padaku, uangku tidak banyak, dan aku harus membayar uang kost besok lusa, kenapa Engkau ambil juga uang yang aku punyai…”.

Rasa sedih dan penyesalan terus menyelimuti setiap langkahku hingga ke unit dimana aku tinggal untuk sementara waktu. Belum selesai juga kesedihan dan penyesalanku hari ini, aku teruskan “protesku” pada Alloh SWT , kugelar sajadah dan kuteruskan dengan sholat ashar.

Dalam doa kusampaikan kembali “protesku pada Alloh SWT, aku tidak tahu kenapa aku belum bisa ikhlas menerima semua itu. Setelah sholat, kubuka laptop dan kublokir seluruh transaksi melalui ATMku.

Rasa gundah masih terus menyelimutiku hingga keesokan harinya, kurebahkan tubuhku ditempat tidur, dan berfikir bagaimana aku akan membayar uang kost besok. Hingga tak berapa lama hpku berdering, ternyata Mr. Gopal Raj sipemilik rumah kost baru yang akan kutempati.

Tanpa aku sadari, dia menelpon dan membatalkan kamar kostnya untuk kusewa karena sudah ada mahasiswa dari India yang lebih dulu menempati kamar tersebut. “Sorry Redi, You are late” itulah kata-kata yang diucapkan olehnya . Oh…. Kenapa dia membatalkan secara sepihak, bukannya dia dulu sudah janji mau memberikan kamar kost itu untukku…

Tak henti-hentinya aku berfikir dan bertanya pada diriku sendiri. “Yaa Alloh, apa tidak cukup uang yang kau ambil dengan paksa itu?” ucapku dalam hati. Sekali lagi aku protes pada Alloh. Aku duduk termenung dan Akhirnya kuputuskan untuk berbicara sama pak Hudaya tentang keadaanku. Beliau lalu menyarankan untuk tetap tinggal di unitnya dan menunggu pak lukman sampai datang dari Indonesia.

Lalu kuputuskan untuk menelfon pak Lukman yang berada di Indonesia, ternyata beliau juga menyarankan aku untuk tetap tinggal di unitnya dan tidak usah pindah. Ya sudahlah, pikirku, mungkin ini memang sudah nasibku untuk harus tinggal disini. Seminggu kemudian Pak Lukman datang dari Indonesia, dan karena tidak ada kamar lagi maka kamipun tinggal sekamar.

Sebenarnya tinggal sekamar dengan orang lain adalah sesuatu yang tidak aku sukai, karena menurutku hal itu bisa mengurangi privasi, tetapi apalah daya, uangku tak mencukupi untuk menyewa unit ataupun kamar kost yang baru.

Akhirnya semuanya aku nikmati dan kucoba untuk jalani dengan sabar. Hari berganti hari, minggu dan bulan pun berlalu. Kulihat ada sesuatu yang lain dari aktifitas pak Hudaya dan Pak Lukman yang membuatku merasa iri dan malu pada diriku sendiri, yaitu kecintaan mereka terhadap masjid.

Gelap, hujan, panas, debu dan dinginnya udara yang menusuk sluruh pori-pori kulit tak membuat mereka mengurungkan niat untuk selalu pergi kemasjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Sekali kali aku ikut dengan mereka, dalam hatiku kubertanya, apa yang mereka cari hingga udara yang amat dingin dan hujan ini tak mampu menghentikan langkahnya untuk pergi ke Masjid.

Padahal jarak dari Masjid Omar (Omar Mosque) lumayan jauh dari unit kami, kami harus berjalan sekitar 800 meter dengan harus melewati jembatan freeway yang agak menanjak. Ah sudahlah, aku ikut saja, yang jelas aku yakin bahwa setiap langkahku akan dicatat oleh Alloh SWT. sebagai amal kebaikan untukku. Bukankah semakin susah perjuanganku, semakin besar pula pahala yang akan kudapatkan, pikirku menghibur diri.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, kurasakan sesuatu yang yang lain dalam diriku, sekarang aku merasa aneh kalau diriku tidak pergi kemasjid dan melaksanakan sholat berjamaah. Ada suatu kebahagiaan yang kurasakan ketika kulangkahkan kakiku kemasjid, ada suatu kebanggaan dalam jiwaku, bahwa serasa diriku “hidup kembali”.

Sholat berjamaah dan pergi ke masjid menjadi suatu ukuran dalam keseharianku untuk menentukan aktifitasku. Dari situ pula akhirnya aku mengenal banyak teman dari luar Indonesia, ada dari Libya, Irak, Palestina, Arab Saudi, Malaysia, dan masih banyak yang lainnya. Tidak jarang ketika aku berjalan pulang dari masjid beberapa saudara itu menawari untuk mengantarku sampai keunitku.

Mereka tidak memandang dari mana asal atau kebangsaan yang berbeda, bahkan pernah pula mereka menolongku untuk membawakan barang-barang saat aku membantu saudara dari Indonesia yang sedang pindah rumah.

Dari situ timbullah suatu rasa persaudaraan dan kedekatan yang tidak bisa dibeli dan diganti dengan apapun. Serasa aku telah menemukan The power of Islam yang selama ini hanya kuketahui sebagai suatu teori belaka.

Aku sadar, ternyata benar bila ada yang mengatakan bahwa masjid adalah tolok ukur kekuatan umat Islam. Bagaimana tidak kuat, bila seluruh jamaah yang hadir adalah orang-orang yang peduli dan mempunyai keinginan yang besar untuk bersaudara dan membantu saudara yang lain.

Ada suatu keindahan tersendiri ketika cinta kepada rumah Alloh telah terbentuk dihati. Tidak hanya itu saja, aku juga sering ikut pengajian baik di masjid Omar di Wollongong ini, maupun di Masjid Tempeh di Sydney. Pengetahuanku tentang Islampun berkembang dan fikirankupun terbuka. Dari sini aku sadar bahwa Islam adalah sebenar-benar pemersatu umat dari seluruh penjuru dunia dan bukan negara, bahasa, ataupun warna kulit.

Berjabat tangan untuk menjalin persaudaraan.

Astaghfirulloh hal adziim…, ucapku dalam hati, ketika aku ingat akan protes dan penyesalan yang selalu aku ajukan kepada Alloh SWT. Aku sadar bahwa kehilangan uang seribu dollar bukanlah musibah bagi diriku, tetapi malahan sebaliknya, ternyata itulah bentuk kasih sayang Alloh kepadaku.

Alloh masih menginginkan diriku untuk “dekat” denganNya, Alloh masih menyelamatkanku untuk tetap dalam keimanan dan kebahagiaan dalam Islam. Karena rasanya tak mungkin ini semua akan kudapatkan bila dahulu aku pindah kost dan tidak tinggal dengan Pak Lukman dan Pak Hudaya.

Kuteringat satu ayat dalam Alquran yang berbunya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S Al Baqarah;216).

Subhanalloh, satu ayat yang sangat indah, bila kita mengetahui maknanya. Sesungguhnya manusia tak akan pernah merasa sedih apabila memahami ayat ini, mereka akan senantiasa bersyukur akan apapun yang ditakdirkan terhadap mereka, dan mereka akan senantiasa bersabar akan cobaan yang menimpa mereka.

Redi Bintarto
(POLTEKOM)