"Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan… ketimbang jika aku hidup menjemukan dan putus asa" (Kahlil Gibran) .
Aku selalu ingat kata-kata Jalaluddin Rumi ketika aku berada diujung jurang putus asa, "Ketika semua pintu telah diketuk dan tetap tidak terbuka, akan ada sebuah pintu terbuka yang tidak pernah kita sangka", ayuh sahabat yang dicintai, mari "Maka berlarilah kalian menuju Allah" (QS.al-Dzariyat: 50).
Seekor sapi ditakar harganya dengan berat dagingnya. Seekor perkutut dapat mengalahkan harga sapi bukan karena beratnya daging tetapi karena keindahan suara. Sebutir merah delima yang hanya beberapa gram saja dapat melampau harga sapi dan perkutut karena keindahan warnanya. Berapa harga kita di hadapan Allah? Daging dan tulang tubuh kita akan habis dimakan tanah. Harta akan kita tinggalkan atau meninggalkan kita. Semua yang sirna tidak dapat dijadikan takaran bagi yang suatu abadi. Kita tidak ditakar dari kegantengan, kecantikan
dan kekayaan, kita ditakar dari keadaan hati dan amal-amal kita. Sabda Nabi saw:
" Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian." (HR.Muslim dari Abu Hurairah ra).
Tidak ada seorang pun yang berselera membeli bangkai meskipun dengan harga rendah. Demikian juga dengan hati yang mati, tidak ada nilainya sama sekali dihadapan Allah Ta’ala. Meskipun jasad hidup, kita tetap saja disebut mayat selama hati tidak dawam mengingat Allah.
Bersabda Nabi saw:
"Perumpamaan orang yang ingat pada Tuhannya dan yang tidak ingat pada Tuhannya seperti perumpamaan orang hidup dan orang mati." (HR. Bukhari dari Abu Musa ra).
Dipetik: http://alfi.blog.friendster.com/2008/07/where-do-we-go/