Monday 27 September 2010

Perjalanan Hati di Wollongong (1000 dollar dan Kebahagiaan)


Pemandangan di salah satu sudut kota Wollongong, Australia.



Pagi yang cerah membuatku memutuskan untuk pergi ke kota Wollongong dan mengambil uang di ATM, karena aku ingat bahwa aku mempunyai janji kepada seseorang untuk membayar uang kos besok lusa. Minggu ini adalah pekan terakhir aku menumpang untuk tinggal di unit (rumah kontrakan) milik Pak Hudaya dan Pak Lukman di Graham Avenue.

Unit di Graham avenue ini adalah tempat tinggalku yang kedua setelah selama lima hari aku menumpang tinggal di rumah Bapak Novera di Graduate House (Nama salah satu unit milik University of Wollongong). Aku merencanakan untuk pindah kost ke tempat baru, karena Pak Lukman akan kembali dari Indonesia, dan kamar yang sekarang kutempati adalah kamar beliau.

Tiga minggu sudah aku tinggal dikota Wollongong ini. Kota yang terletak di New South Wales (negara bagian Australia) ini merupakan salah satu kota tempat tujuan para pelajar dari seluruh dunia untuk menuntut ilmu. Hampir semua tetangga unit di Graham Avenue ini adalah international student dari University of Wollongong.

Hari ini aku putuskan untuk mengambil uang sebanyak seribu dollar Australia. Aku harus mengambil uang lebih banyak dari biasanya karena besok lusa aku rencanakan untuk pindah ketempat kost yang baru, dan aku harus membayar uang sewa kost yang baru tersebut sebesar 890 dollar Australia.

Akomodasi atau penginapan disini memang tergolong mahal, karena kebanyakan harus dibayar dimuka minimal untuk 6 minggu kedepan. Setelah mengambil uang aku kembali kekampus karena aku harus mengikuti kuliah. Hari ini aku kuliah di kelas besar, dengan kapasitas mahasiswa sebanyak lebih dari 150 mahasiswa.

Bentuk ruang kelas yang mirip dengan theatre (gedung bioskop) membuat materi perkuliahan dapat didengar dan disaksikan oleh seluruh mahasiswa yang hadir, mulai dari depan sampai bangku paling belakang. Tak terasa kuliah berakhir lebih cepat dari biasanya,akupun bergegas keluar dari ruang kelas dan berjalan pulang berbarengan dengan teman-teman dari Indonesia.

Namun tanpa aku sadari, aku kehilangan dompet yang aku taruh di saku belakang celana, aku baru sadar ketika akan menaiki bis. “Astaghfirulloh Haladziim….”, dompetku hilang! Teriakku pelan Aku coba untuk mengecek di dalam tas dan saku yang lain. ..

Aku lalu berlari kembali kekelas dengan harapan menemukan dompet yang hilang tersebut, karena dalam dompet tersebut terdapat uang yang akan aku pakai untuk membayar kost besok lusa.

Dengan dibantu Bapak Zaka (teman satu kelas yang berasal dari Indonesia) aku teliti satu persatu kursi, meja dan lantai kelas. Aku berputar-putar didalam kelas dan mencoba menyisir jalan tempat lewatku. Tapi akhirnya aku menyerah, dan harus memasrahkan semuanya pada Alloh SWT.

Badanku lemas, karena baru kali ini aku kehilangan uang sebanyak ini, dalam hati aku “protes” pada Alloh SWT, Yaa Alloh, kenapa engkau begitu kejam padaku, uangku tidak banyak, dan aku harus membayar uang kost besok lusa, kenapa Engkau ambil juga uang yang aku punyai…”.

Rasa sedih dan penyesalan terus menyelimuti setiap langkahku hingga ke unit dimana aku tinggal untuk sementara waktu. Belum selesai juga kesedihan dan penyesalanku hari ini, aku teruskan “protesku” pada Alloh SWT , kugelar sajadah dan kuteruskan dengan sholat ashar.

Dalam doa kusampaikan kembali “protesku pada Alloh SWT, aku tidak tahu kenapa aku belum bisa ikhlas menerima semua itu. Setelah sholat, kubuka laptop dan kublokir seluruh transaksi melalui ATMku.

Rasa gundah masih terus menyelimutiku hingga keesokan harinya, kurebahkan tubuhku ditempat tidur, dan berfikir bagaimana aku akan membayar uang kost besok. Hingga tak berapa lama hpku berdering, ternyata Mr. Gopal Raj sipemilik rumah kost baru yang akan kutempati.

Tanpa aku sadari, dia menelpon dan membatalkan kamar kostnya untuk kusewa karena sudah ada mahasiswa dari India yang lebih dulu menempati kamar tersebut. “Sorry Redi, You are late” itulah kata-kata yang diucapkan olehnya . Oh…. Kenapa dia membatalkan secara sepihak, bukannya dia dulu sudah janji mau memberikan kamar kost itu untukku…

Tak henti-hentinya aku berfikir dan bertanya pada diriku sendiri. “Yaa Alloh, apa tidak cukup uang yang kau ambil dengan paksa itu?” ucapku dalam hati. Sekali lagi aku protes pada Alloh. Aku duduk termenung dan Akhirnya kuputuskan untuk berbicara sama pak Hudaya tentang keadaanku. Beliau lalu menyarankan untuk tetap tinggal di unitnya dan menunggu pak lukman sampai datang dari Indonesia.

Lalu kuputuskan untuk menelfon pak Lukman yang berada di Indonesia, ternyata beliau juga menyarankan aku untuk tetap tinggal di unitnya dan tidak usah pindah. Ya sudahlah, pikirku, mungkin ini memang sudah nasibku untuk harus tinggal disini. Seminggu kemudian Pak Lukman datang dari Indonesia, dan karena tidak ada kamar lagi maka kamipun tinggal sekamar.

Sebenarnya tinggal sekamar dengan orang lain adalah sesuatu yang tidak aku sukai, karena menurutku hal itu bisa mengurangi privasi, tetapi apalah daya, uangku tak mencukupi untuk menyewa unit ataupun kamar kost yang baru.

Akhirnya semuanya aku nikmati dan kucoba untuk jalani dengan sabar. Hari berganti hari, minggu dan bulan pun berlalu. Kulihat ada sesuatu yang lain dari aktifitas pak Hudaya dan Pak Lukman yang membuatku merasa iri dan malu pada diriku sendiri, yaitu kecintaan mereka terhadap masjid.

Gelap, hujan, panas, debu dan dinginnya udara yang menusuk sluruh pori-pori kulit tak membuat mereka mengurungkan niat untuk selalu pergi kemasjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Sekali kali aku ikut dengan mereka, dalam hatiku kubertanya, apa yang mereka cari hingga udara yang amat dingin dan hujan ini tak mampu menghentikan langkahnya untuk pergi ke Masjid.

Padahal jarak dari Masjid Omar (Omar Mosque) lumayan jauh dari unit kami, kami harus berjalan sekitar 800 meter dengan harus melewati jembatan freeway yang agak menanjak. Ah sudahlah, aku ikut saja, yang jelas aku yakin bahwa setiap langkahku akan dicatat oleh Alloh SWT. sebagai amal kebaikan untukku. Bukankah semakin susah perjuanganku, semakin besar pula pahala yang akan kudapatkan, pikirku menghibur diri.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, kurasakan sesuatu yang yang lain dalam diriku, sekarang aku merasa aneh kalau diriku tidak pergi kemasjid dan melaksanakan sholat berjamaah. Ada suatu kebahagiaan yang kurasakan ketika kulangkahkan kakiku kemasjid, ada suatu kebanggaan dalam jiwaku, bahwa serasa diriku “hidup kembali”.

Sholat berjamaah dan pergi ke masjid menjadi suatu ukuran dalam keseharianku untuk menentukan aktifitasku. Dari situ pula akhirnya aku mengenal banyak teman dari luar Indonesia, ada dari Libya, Irak, Palestina, Arab Saudi, Malaysia, dan masih banyak yang lainnya. Tidak jarang ketika aku berjalan pulang dari masjid beberapa saudara itu menawari untuk mengantarku sampai keunitku.

Mereka tidak memandang dari mana asal atau kebangsaan yang berbeda, bahkan pernah pula mereka menolongku untuk membawakan barang-barang saat aku membantu saudara dari Indonesia yang sedang pindah rumah.

Dari situ timbullah suatu rasa persaudaraan dan kedekatan yang tidak bisa dibeli dan diganti dengan apapun. Serasa aku telah menemukan The power of Islam yang selama ini hanya kuketahui sebagai suatu teori belaka.

Aku sadar, ternyata benar bila ada yang mengatakan bahwa masjid adalah tolok ukur kekuatan umat Islam. Bagaimana tidak kuat, bila seluruh jamaah yang hadir adalah orang-orang yang peduli dan mempunyai keinginan yang besar untuk bersaudara dan membantu saudara yang lain.

Ada suatu keindahan tersendiri ketika cinta kepada rumah Alloh telah terbentuk dihati. Tidak hanya itu saja, aku juga sering ikut pengajian baik di masjid Omar di Wollongong ini, maupun di Masjid Tempeh di Sydney. Pengetahuanku tentang Islampun berkembang dan fikirankupun terbuka. Dari sini aku sadar bahwa Islam adalah sebenar-benar pemersatu umat dari seluruh penjuru dunia dan bukan negara, bahasa, ataupun warna kulit.

Berjabat tangan untuk menjalin persaudaraan.

Astaghfirulloh hal adziim…, ucapku dalam hati, ketika aku ingat akan protes dan penyesalan yang selalu aku ajukan kepada Alloh SWT. Aku sadar bahwa kehilangan uang seribu dollar bukanlah musibah bagi diriku, tetapi malahan sebaliknya, ternyata itulah bentuk kasih sayang Alloh kepadaku.

Alloh masih menginginkan diriku untuk “dekat” denganNya, Alloh masih menyelamatkanku untuk tetap dalam keimanan dan kebahagiaan dalam Islam. Karena rasanya tak mungkin ini semua akan kudapatkan bila dahulu aku pindah kost dan tidak tinggal dengan Pak Lukman dan Pak Hudaya.

Kuteringat satu ayat dalam Alquran yang berbunya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S Al Baqarah;216).

Subhanalloh, satu ayat yang sangat indah, bila kita mengetahui maknanya. Sesungguhnya manusia tak akan pernah merasa sedih apabila memahami ayat ini, mereka akan senantiasa bersyukur akan apapun yang ditakdirkan terhadap mereka, dan mereka akan senantiasa bersabar akan cobaan yang menimpa mereka.

Redi Bintarto
(POLTEKOM)

Sunday 26 September 2010

FUNNY

Salams,

Kullum am wa antum bikhair.

For the past few days, or maybe few weeks, my posts are completely the copy-paste sort of things. Things that are dearer to me, and I have the highest hopes it will be yours too. I confess, I have no ideas what to write, when to write, and how to write. It seems to me that the ideas have eluded me, and being a passive person, I have no heart to chase it; be it the most important ideas or otherwise.

Please bear with me.

A friend has told me, I have an the influential writing, in which it can affect or wreck hearts. It is the highest honour, coming from an honourable lady. But I beg to differ, I do not think my writing is really inspiring. I write craps most of the times, and idocy for the rest. Sometimes I really hate myself after I post the entry, it shows how worthless I feel to that extend. I dream to be a good blogger, writing experiences that can bring audiences closer to The Exalted, Allah swt. But if I dont really have a good relationship with Him, how could I, the most sinful slave, write things that I do not really do? Owh Allah, I strive hard to be closed to you, please accept my humbling prayers. Please.

I couldnt write. Doesnt matter how worried I am, I still couldnt write. Some concepts are difficult to tie it with the empirical results, it's the analysis that show how far you go in this area. This academic writing really drives me crazy. I know now, I must have a complete silence to do the analysis. Not even a slightest distraction. I wonder, how do Sir Leicester, Lady Durham, and Lady Essex write their papers? They have a far greater preoccupation, yet they are more than able to produce a greter paper. Lazy lady, I am, yes, I admit it. I will be more than understanding once I am in my supervisor's shoe, insyaAllah.

A friend asks me what I am doing for life. Being so elusive, I am reluctant to reveal to him who I am, as in this capitalist world, it is a job that defines who you are, such a beastly concept. And I have received the most shocking reply ever - I hope what you do to bring home the bacon is halal. I nearly die with laughing so hard, literaly I roll on floor laughing my ass off. Astagfirullah, yes, I will try my very best to bring home the halal bacon, so to speak. I retold this funny story to my other friend, she is also laughing her pant off. Goodness me, she replies, you have the most innocent face ever, how could he presume you to be like that? I shrug my shoulders, well, some people. By the way, I do not have the innocent face, ask my other friends.

Do we judge people by his/her physical appearance? Or her/his aura? Or her/his manerism? Or his/her wealth? Talking about love, a friend told me the meaning of love written in the SOLUSI magazine (if I'm not mistaken), it is the reflection of ourselves we find in them. Without being cliche, love is an overused concept, yet we never grow tire of talking about it. Yes, if I love a man, it must be that I love his quality that equal to mine, or the quality that I seek and hope to be mine.

My friend writes: menurut Imam Ghazali, cinta itu ialah kecenderungan jiwa yang amat kuat dalam diri seseorang kepada sesuatu atau seseorang lain yang memberi kelazatan, manfaat dan sangat serasi dengan fitrahnya. Rasanya kita akan menyintai seseorang/sesuatu jika ia refleks kepada fitrah diri. In a sense, kita sebenarnya menyintai diri sendiri. We can love somebody, because that somebody has the quality that reflects you, eventhough you don't have that quality yet.

And she knows why I loved him: because he remains faithful to Allah, even when the entire world is against him. And I really know why she loves him: because he is a fighter, even when he is alone in his war, in his jihad, even when the entire world is against him, he still stands tall, never weavers in his jihad. I know sister, I know it.





Saturday 25 September 2010

Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!

Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!

E-mail Print PDF
Tak hanya soal agama, pertanyaan tentang jajan khas Indonesia pun perlu jawaban rasional di Jerman

Hidayatullah.com--Pertanyaan kritis “Siapakah yang Menciptakan Allah?” sebagaimana dikupas dalam tulisan sebelumnya di hidayatullah.com bukanlah satu-satunya pertanyaan yang dapat ditemui dalam kehidupan di Jerman mengenai agama. Namun masih ada sejumlah pertanyaan-pertanyaan serupa, yang sangat bisa dimaklumi mengingat ciri khas budaya, masyarakat, pendidikan, serta perilaku warga nya yang mengedepankan logika dan rasionalitas. Pertanyaan sejenis tidak jarang pula muncul pada anak-anak muslim Indonesia yang dibesarkan dan bersekolah di Jerman.

Apa manfaat kue Indonesia?

Dalam acara pengajian rutin bapak-bapak warga Indonesia muslim di Hamburg, yang diadakan setiap Jumat malam, ada kisah unik dari tuan rumah tempat diadakannya pengajian itu. Menurut tuan rumah, pernah anaknya yang masih sekolah dasar ditawari untuk menyantap kue khas Indonesia masakan ibunya.

Sang anak tidak serta merta memakannya, tapi bertanya mengapa ia harus memakan makanan itu. Maksudnya apa manfaatnya bagi dia jika dia menyantap kue itu.

Sang orangtua bercerita bahwa dia tidak mampu menjawab pertanyaan anaknya yang masih kecil dan bersekolah di Jerman itu. Apa yang diceritakan orangtua tersebut bisa dimaklumi adanya. Ini karena memang belum semua jajan khas asli Indonesia yang bermacam ragam itu menjadi bahan penelitian ilmiah untuk diteliti secara menyeluruh manfaat kesehatannya atau nilai gizinya.

Singkat kata, karena tidak mendapatkan jawaban yang diminta, maka sang anak pun tidak mau memakan kue khas Indonesia itu. Sang orangtua menambahkan bahwa anaknya itu suka makan yogurt. Ini dikarenakan dia diajari gurunya di sekolah bahwa yogurt itu baik untuk gigi. Barangkali orangtua sang anak itu perlu menunggu kiprah para ilmuwan Indonesia dalam mengungkap aneka manfaat kesehatan dari beragam makanan ringan khas tradisional Indonesia agar dapat meyakinkan sang anaknya itu.

Menemukan agama paling benar

Di Jerman memang sangat penting untuk dapat menjelaskan secara rasional kepada anak yang masih usia sekolah dasar sekalipun, mengapa mereka harus melakukan ini dan itu, mengapa harus berpuasa, sholat, mengapa Tuhan begini dan begitu, dan semacamnya.

Jika usia sekolah dasar saja sudah seperti itu, maka bisa dimaklumi jika kalangan dewasa pun berpola pikir jauh lebih kritis dan rasional.

Berbagai pertanyaan seputar agama, Tuhan dan peribadatan seringkali dilontarkan orang-orang Jerman kepada kolega mereka orang-orang muslim Indonesia. Tidak jarang pertanyaan ini tidak dapat mereka jawab, lantaran memang pertanyaan kritis seperti itu jarang ditemui di Indonesia. Kalaulah ada mungkin dianggap tabu untuk dibicarakan, atau dijawab tidak dengan rasional. Karena itu, di acara-acara pengajian menjadi salah satu ajang bagi sebagian warga Indonesia untuk menanyakan jawaban apa yang mesti mereka berikan atas pertanyaan kritis semacam itu.

Salah satu pertanyaan kritis lain pernah dikisahkan salah seorang remaja putri di forum pengajian Hamburg, salah satu kegiatan warga muslim Indonesia di Hamburg sebagaimana dikisahkan artikel Siapakah Yang Menciptakan Allah?sebelumnya. Dia menceritakan di forum pengajian itu bagaimana rekannya di Jerman menanyakan kepadanya, bagaimana mungkin seseorang bisa tahu bahwa salah satu agama, katakanlah Islam yang dipeluknya, adalah yang paling benar.

Temannya itu beralasan, ada banyak sekali agama dan bentuk keyakinan di dunia ini. Usia manusia tidak akan cukup untuk mempelajari semua agama itu, untuk kemudian sampai pada kesimpulan bahwa salah satu agama tertentu itulah yang benar.

Sekilas memang tidak salah juga apa yang dikatakan sang temannya itu. Untuk obyektif, jujur, dan adil, maka orang harus mempelajari semua agama yang ada di dunia ini sebelum menyimpulkan bahwa ada satu yang paling benar. Dan memang mempelajari salah satu agama bisa memakan waktu lama, bahkan seumur hidup. Bisa jadi habis waktu untuk mempelajari agama-agama yang ada, dan manusia keburu meninggal dunia sebelum menemukan kebenaran salah satu agama.

Syukurnya, penceramah waktu itu, yang masih mahasiswa, punya kegemaran menyimak kisah-kisah masuk Islamnya orang-orang di Jerman. Sehingga penceramah pun paham bahwa faktanya tidaklah demikian. Sebab ada orang Jerman yang masuk Islam setelah mendengarkan lantunan ayat Al-Quran yang ia rasakan menyentuh qalbunya. Ada pula yang masuk Islam karena menganggap ajaran Islam itu masuk akal setelah membaca terjemahan Al-Quran bahasa Jerman. Sebagian mereka masuk Islam dalam waktu singkat setelah belajar Islam, sebagian lagi memang perlu waktu beberapa bulan atau tahun.

Sang pembicara menambahkan, hal itu mungkin mirip dengan orang yang ingin menemukan sesuatu seperti barang hilang, jodoh atau cari tempat tinggal. Tiap orang tidak sama dalam hal waktu mendapatkan apa yang dicarinya itu. Dan ini adalah fakta yg diketahui bersama. Yang penting adalah apakah orang itu memang berniat mencari atau tidak, pesimis atau optimis. Jika tidak berniat sunguh-sungguh atau pesimis, maka orang bisa menemukan seribu satu alasan untuk tidak melakukannya. Seperti orang lapar, jika ia paham akan pentingnya makan, maka ia tanpa basa-basi dan banyak alasan akan mencari makanan sekuat tenaga agar dia dapat tetap bertahan hidup.

Nah, kembali ke soal agama, jika seseorang itu memang berniat kuat untuk mencari kebenaran agama, maka tanpa banyak berdalih dia akan mencarinya dengan sungguh-sungguh, dan tidak akan sekedar berkata "tidak mungkin bisa menemukan kebenaran, karena begitu banyak sekali agama, keyakinan, dst. sedang kesibukan dan usia hidup kita terbatas.” Dengan dalih seperti itu, orang tersebut tidak mau mencari agama yang benar. Ini menunjukkan niat yang belum sungguh-sungguh.

Ada kemungkinan memang seseorang berniat kuat dan habis waktu hidupnya untuk mencari agama, dan keburu meninggal dunia sebelum menemukan agama benar yg dicarinya. Untuk masalah ini, Allah mempahalai niat baik seseorang meskipun orang itu tidak sempat menemukannya atau melakukan kebaikan yang diniatkannya itu. Barangkali kisah di bawah cukup menarik, tercantum dalam hadits Rasulullah SAW:

Dari Abu Sa'id, Sa'ad bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabiyullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dulu, pada zaman sebelum kalian, ada seseorang yang telah membunuh 99 orang, kemudia ia mencari orang yang paling pandai di muka bumi ini, maka ditunjukkan kepadanya seorang pendeta (ahli ibadah). Lalu ia sedera mendatanginya dan berkata: 'Sesungguhnya ia sudah membunuh 99 orang, apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat?' 'Tidak,' jawab sang pendeta. Maka orang itu pun membunuh pendeta tersebut hingga menggenapkan orang yang dibunuhnya menjadi 100 orang.”

“Setelah itu ia mencari orang yang paling pandai di muka bumi, hingga akhirnya ditunjukkan kepadanya seorang alim. Lalu ia berkata: 'Sesungguhnya ia telah membunuh 100 orang, apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat? Orang itu menjawab, 'Ya masih, dan siapakah yang dapat menghalangi antara dirinya dan taubat? Berangkatlah engkau ke suatu tempat (negeri), sesungguhnya di sana terdapat orang-orang yang beribadah kepada Allah Ta'ala. Karena itu, beribadahlah engkau bersama mereka, dan janganlah engkau kembali lagi ke negerimu, sebab ia merupakan negeri yang jelek.' “

“Maka ia pun berangkat sehingga ketika di tengah perjalanan, ia menemui ajalnya. Maka Malaikat rahmat dan Malaikat adzab berselisih pendapat mengenai orang itu. Malaikat rahmat berkata, 'Ia telah datang dalam keadaan bertaubat, dan dengan hatinya ia telah bertolak menuju Allah Ta'ala.' Sedang Malaikat adzab berkata, 'Sesungguhnya ia belum pernah berbuat kebaikan sama sekali.' Kemudian mereka didatangi Malaikat dalam wujud seorang manusia, kemudian mereka menjadikan Malaikat ini sebagai penengah di antara mereka. Maka Malaikat itu berkata, 'Ukurlah jarak antara dua daerah itu, maka ke daerah mana yang ia lebih dekat kepadanya maka itulah yang menjadi bagiannya.' Maka mereka pun melakukan pengukuran hingga akhirnya mereka mendapatkannya lebih dekat dengan daerah yang ditujunya, lalu ia pun diambil oleh Malaikat rahmat.”

Dalam sebuah riwayat di kitab ash-Shahih disebutkan: “Dan ia lebih dekat satu jengkal ke daerah yang lebih baik itu, maka dia dianggap sebagai salah satu penduduknya.” Pada riwayat yang lain juga dalam kitab ash-Shahih: “Maka Allah memerintahkan kepada daerah (yang jelek) itu menjauh dan kepada daerah yang baik untuk mendekat, dan dia berkata: 'Ukurlah jarak antara kedua daerah itu.' Ternyata mereka mendapatkannya lebih dekat satu jengkal dengan daerah yang baik itu, sehingga ia pun diberi ampunan.” [Riwayat Bukhari VI/512 dan Muslim no. 2766]. Wallaahu a’lam. [abuammar/hidayatullah.com].

(Cerita ini dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman. Fotoby crb)

Friday 24 September 2010

Teknologi Mahacanggih: Memotong Besi Dengan Air

Besi membelah es itu biasa. Memotong besi dengan goresan es: baru luar biasa.

oleh: Abu Ammar*


Hidayatullah.Com – Pengalaman langka, sejarah, ataupun peristiwa besar yang terjadi di Eropa menjadi warna tersendiri di pengajian warga Indonesia di Jerman. Sebut saja pengajian muda mudi muslim Indonesia di bulan April 2010 yang baru saja berlalu, dan dikisahkan sebelumnya di Hidayatullah.Com (baca: "Siapakah Yang Menciptakan Allah?”).

Tenggelamnya si anti-tenggelam

Pengajian yang diselenggarakan di masjid yang dikelola Indonesisches Islamisches Centrum e.V. itu bertepatan dengan bulan peringatan ulang tahun ke-98 pelayaran perdana sekaligus pelayaran terakhir kapal Titanic. Kisah tragis tenggelamnya kapal Titanic sengaja diketengahkan sang pembicara dalam pengajian itu karena sejumlah pesan Ilahi yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga darinya.

Titanic diluncurkan pada tanggal 10 April 1912 untuk pelayaran pertamanya beserta tak kurang dari 2200 penumpang berikut sang awak kapal. Pelayaran yang dimulai dari pelabuhan Southampton, Inggris, menuju kota New York, AS, itu berakhir mengenaskan setelah menyerempet gunung es di perairan Atlantik di malam hari 14 April 1912. Dalam 2 jam 40 menit kemudian, tepatnya pukul 2:20 dini hari 15 April 1912, salah satu sarana perhubungan manusia paling canggih kala itu pun diberitakan tenggelam.

Sebagaimana kisah tentang pesawat terbang sebelumnya (baca: "Kisah Tuhan di Pesawat Terbang") ada hal menarik terkait kapal Titanic yang pembuatannya memakan waktu selama sekitar 2 tahun ini. Kapal ini dilengkapi teknologi bilik kedap air yang membatasi masuknya air di saat kecelakaan terjadi, dan karenanya dijuluki ‘’practically unsinkable’’ yang berarti ‘’praktis tak dapat ditenggelamkan’’ atau ‘’tahan tenggelam’’.

Namun kapal raksasa ini, yang termasuk teknologi maritim tercanggih karya manusia kala itu, menemui ajalnya dalam usia 5 hari saja. Ini jauh lebih pendek dari umur normal seekor lalat buah mungil. Kapal besar berukuran sekitar 260 m panjang x 28 m lebar yang katanya tahan tenggelam itu justru jatuh ke dasar samudra Atlantik dalam waktu singkat. Bersamanya, lebih dari 1000 penumpangnya tewas tenggelam di lautan dingin nan kelam.

Bukan kebetulan belaka

Tak sebutir debu pun terbang di dunia ini secara kebetulan. Artinya, semua kejadian, kecil atau besar, ada karena kesengajaan dan kehendak Allah SWT, sehingga sudah pasti ada hikmah besar di balik setiap peristiwa itu. Demikian pula Titanic. Sudah mutlak pasti ada banyak pelajaran berharga yang diwariskannya. Betapa kapal yang digembar-gemborkan tak dapat ditenggelamkan itu justru terbelah dan terkubur di dasar laut pasca tersayat oleh gunung es.

Yah, seolah sang Pencipta hendak mengingatkan sesiapa saja yang pernah mendengar kisah itu bahwa takkan ada karya buatan manusia secanggih apa pun yang mampu mengalahkan mahakarya Allah Yang Maha Pencipta: air. Es, alias air beku, yang terlihat sangat sederhana itu, ternyata jauh lebih digdaya dibandingkan kapal Titanic yang diakui canggih tersebut.

Kapal raksasa besi nan kokoh itu ternyata tidak ada apa-apanya ketika disenggol oleh gunung es! Jika manusia selama ini biasa memotong es dengan besi, maka Allah secara luar biasa justru melakukan kebalikannya: menjadikan besi sedahsyat kapal Titanic terbelah justru dengan es! Kapal Titanic tidaklah menabrak gunung es berhadap-hadapan. Allah sekedar membiarkan kapal Titanic tergores oleh permukaan gunung es di sisinya, searah dengan panjangnya, tanpa perlu memotongnya melintang.

Hebatnya lagi, sang gunung es itu tidak dibentuk menyerupai pisau tajam, namun mampu menggores sang kapal di titik mematikan. Goresan itu cukup untuk memenggal Titanic menjadi dua potongan dan menjerembabkannya ke dasar samudra Atlantik dalam waktu singkat.

Pendek kata, ciptaan Allah berupa gunung es-lah yang “truly unsinkable”, yang benar-benar tak dapat ditenggelamkan oleh ombak sedahsyat apa pun, termasuk oleh hantaman besi secanggih Titanic sekalipun. Sebaliknya, sang “practically unsinkable” Titanic-lah yang malah terkapar di dasar samudra setelah dirobek oleh es. Gelar Titanic “practically unsinkable” tak lebih dari isapan jempol belaka.

Kisah itu bak menasihati manusia, bahwa tidaklah patut baginya memberi gelar berlebihan atau menjadi terlampau bangga atas karyanya sehingga melampaui batas. Menggembar-gemborkan dan terlampau mempercayai Titanic sebagai “tahan tenggelam” sungguhlah berlebihan dan terdengar bak ungkapan kesombongan. Dan Allah tidak membiarkan kesombongan hamba-Nya yang melampaui batas begitu saja di muka bumi.

Titanic dan Nyai Roro Kidul

Sang penceramah di pengajian itu mengisahkan Titanic sembari berdialog, berdiskusi dua arah, dan menyelingi tanya jawab dengan peserta pengajian yang masih belia itu. Peserta tampak serius mengikutinya. Sungguh inilah barangkali cara penyajian yang tepat bagi muda-mudi metropolis jaman sekarang.

Tak dapat dibayangkan, betapa membosankan andai pengajian itu dijejali dengan banyak ayat Al Qur’an dan Hadits melulu dan satu arah, tanpa memberi kesempatan kepada pendengar untuk sering aktif mengemukakan pendapat. Apalagi jika sampai si penceramah mudah menghardik peserta yang pertanyaannya terdengar aneh-aneh itu, sebagaimana diterbitkan sebelumnya di hidayatullah.com (baca: “Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!”)

Apa yang dipaparkan sang penceramah waktu itu mungkin akan lebih menarik, jikalau sejarah asal usul nama Titanic dibahas pula. Titanic berasal dari keyakinan legenda kuno Yunani yang meyakini bahwa alam semesta-lah yang menciptakan tuhan-tuhan yang jamak, dan bukan sebaliknya. Titans, jamak dari Titan, adalah tuhan-tuhan generasi pertama yang merupakan keturunan dari tuhan bumi Gaia yang berkelamin wanita.

Jadi jika dikaitkan namanya, Titanic ibarat sesosok teknologi angkutan laut supercanggih yang diberi nama tuhan dan bergelar tak tertenggelamkan. Namun kenyataannya, kapal Titanic bukanlah sesosok tuhan, dan bukan pula bergelar ‘’tak dapat ditenggelamkan’’. Kapal Titanic adalah raksasa besi yang ternyata lemah tak berdaya di hadapan ciptaan Allah yang tak kalah canggihnya: gunung es.

Di tengah-tengah paparannya tentang Titanic, sang penceramah pun berseloroh bahwa di masyarakat yang mengelu-elukan teknologi, mahakarya digdaya seperti Titanic disanjung bak tuhan. Sebaliknya, di masyarakat yang jauh dari teknologi dan masih banyak mempercayai takhayyul dan klenik seperti di Jawa, maka yang disanjung-sanjung adalah dedemit atau makhluk halus dan dituhankan seperti Nyai Roro Kidul, penguasa laut selatan. Namun sejatinya baik sang dewa samudra kapal Titanic dan si dewi laut selatan Nyai Roro Kidul, keduanya bukanlah Tuhan, dan tidak semestinya digelari berlebihan, apalagi menyamai sifat Tuhan.

Mengulang sejarah Fir’aun

Dalam pengajian muda-mudi Hamburg itu, penceramah terlihat sengaja mengarahkan agar para peserta pengajian turut aktif mengemukakan pendapatnya. Usahanya tidak sia-sia, pengajian itu tampak hidup dan peserta tidak canggung berlomba untuk turut melontarkan pertanyaan, jawaban, atau pun pengalamannya sendiri. Mereka tampak bersemangat menyimak kisah Titanic itu.

Bagi sebagian orang, tragedi Titanic mungkin tak perlu dikaitkan dengan pesan moral, tidak usah disentuhkan dengan urusan agama, atau tak ada gunanya dipautkan dengan kehendak Tuhan. Namun, jika seseorang meyakini Allah sebagai Tuhan yang tidak pernah tidur, lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dan yang memiliki kehendak luhur di setiap detik peristiwa apa pun di jagat raya ini, maka sudah sepatutnya mengambil pelajaran ilahiah berharga dari kecelakaan maritim akbar abad ke-20 itu.

Ini karena Allah sudah pasti sengaja menenggelamkan kapal itu, agar manusia yang datang di kemudian hari mengambil pelajaran darinya. Tidak ada peristiwa sekecil apa pun yang luput dari kesengajaan dan kehendak agung sang Pencipta peristiwa itu, Allah SWT, kecuali dengan suatu tujuan mulia.

Penceramah mengaitkan kisah Titanic dengan Fir’aun, yang menyatakan dirinya sebagai tuhan yang mahatinggi, sebagaimana diabadikan Al-Quran: "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi’’. (QS. An Naazi’aat, 79:24) serta penguasa sungai dalam perkataannya: "(bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, apakah kamu tidak melihat?" (QS. Az Zukhruf, 43:51). Namun kesombongan Fir’aun yang mengaku tuhan mahatinggi dan sang penguasa sungai-sungai itu sirna dengan ditenggelamkannya di lalu merah.

Kapal Titanic berukuran raksasa dan tinggi yang namanya berasal dari tuhan Titan, serta Fir’aun yang mengaku tuhan yang mahatinggi, keduanya dibinasakan di tempat maharendah di muka bumi: dasar lautan. Fir’aun yang mengaku penguasa sungai-sungai, serta kapal Titanic yang dinyatakan tahan tenggelam, keduanya bernasib naas dikuasai lautan, alias tenggelam di dalam air.

Peringatan bagi manusia

Pengulangan kisah Fir’aun pada kapal Titanic sudah pasti bukan peristiwa kebetulan, namun sebagai sunnatullah, yang berlaku bagi sesiapa saja yang melampaui batas yang telah diperingatkan Allah. Sebagaimana ketentuan yang telah digariskan menyusul pernyataan sombong Fir’aun sebagai tuhan yang mahatinggi, “maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia (QS. An Naazi’aat, 79:25).

Dengan peristiwa Titanic itu, yang karam pasca menyerempet gunung es, manusia hendaknya tersadarkan bahwa pencapaian teknologi maritim sehebat apa pun takkan pernah mengungguli ciptaan Allah berupa es, wujud beku air, sang anti-tenggelam yang sejati. Kenapa? Sederhana saja, ribuan tahun sejarah manusia tak pernah tercatat bahwa manusia mampu menciptakan air. Sejarah dipenuhi oleh kapal-kapal yang tenggelam, tapi bukan es yang karam.

Bahkan manusia, termasuk Fir’aun dan para insinyur perancang kapal Titanic, sangat bergantung pada air dan tidak mungkin bisa hidup jika saja air dilenyapkan oleh Allah seketika. Fir’aun tak bakal mengaku penguasa sungai, dan kapal Titanic takkan digelari anti-tenggelam, jika air tidak pernah diciptakan Allah dalam bentuk sungai dan lautan.

Kapal Titanic dan sungai-sungai yang mengalir di wilayah kekuasaan Fir’aun bukanlah pertanda kedahsyatan sang kapal, bukan pula kemahatinggian Fir’aun. Tapi, keduanya merupakan tanda-tanda kehebatan penciptaan air. Air adalah sebentuk mahakarya luar biasa Allah, Pencipta tanpa tara. Manusia sepatutnya mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, dan tidak membanggakan karyanya maupun dirinya di hadapan-Nya.

Sungai-sungai dan kapal Titanic sepatutnya digunakan sebagai sarana berdakwah kepada manusia, untuk menyadarkan masyarakat luas bahwa keduanya terjadi karena kekuasaan Allah semata:

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit… ….dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (QS. Ibrahim, 14:32)

Manusia hendaknya mengambil pelajaran berharga dari tragedi Titanic, jika tidak maka pasti berlakulah ketetapan Allah, sebagaimana yang menimpa Fir’aun dan orang-orang sombong melampaui batas sepeninggalnya. Siapa pun yang sombong melampaui batas, maka Allah tidak akan membiarkannya begitu saja di dunia ini. Sunnatullah yang berlaku atas Fir’aun, Qarun, dan Haman, akan berlaku pula pada orang-orang sepeninggalnya, tak terkecuali mereka yang terkait dengan tragedi Titanic:

‘’Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jika Dia menghendaki Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur, atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar dari (mereka). Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan). Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. (QS. Asy Syuuraa, 42:36)

(www.hidayatullah.com/*)dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman)

Gambar-gambar: harunyahya.com dan wikipedia

Thursday 23 September 2010

Kisah dari Dunia Karpet

Kisah dari Dunia Karpet

E-mail Print PDF
Karpet adalah seiris produk budaya yang masih tersisa. Kaum Muslim memilikinya sebagai ”tempat terhormat” untuk ibadah

HARI itu aku menurunkan gulungan karpet dari container. Membuka serta menatanya serapi mungkin di lantai pameran. Ada karpet dan rug (permadani) dari Iran, India, Afrika utara, Afghanistan, Pakistan, Turkmenistan, Azerbaijan, Kashmir dan Turki dengan berbagai ukuran, motif, corak dan kehalusan. Harga kami hampar bertumpuk-tumpuk. Beberapa lainnya ditempel atau dijajarkan di dinding untuk memperindah tampilan pameran yang digelar rutin di Canberra setiap empat bulan ini.

Liburan semester kali ini aku gunakan untuk mengumpulkan dollar dengan bekerja di sebuah pameran karpet. Bekerja di Albert Hall kali ini benar-benar kerja casual dalam sebuah sistem yang sangat efisien, menggunakan time check log bahkan untuk sekedar istirahat 15 menit.

Maklum, sebagai kapitalis modern, penjual karpet yang telah berkeliling Australia sejak 1952 ini rupanya tidak mau rugi dengan kelebihan menggaji 10 orang, termasuk kami para mahasiswa ini.

Selain motif-motif baru atau motif modern, motif lama yang direpro ulang turut memperkaya motif-motif karpet yang ada saat ini. Karpet dan permadani buatan tangan dengan berbagai kehalusan dan keindahan corak tersebut terbuat dari wol atau sutera dan berharga mulai ratusan sampai puluhan ribu dollar.

Yang termahal dibanderol 45.000 atau setara dengan harga 45 mobil bekas atau dua mobil sport baru di Australia.

Tapi apa yang bisa diceritakan dari sepotong karpet selain permadani terbang dalam kisah “Negeri 1001 Malam?”

Yang menarik perhatianku di pameran itu adalah karpet bermotif alat-alat perang dari Afghanistan. Aku mulai mahfum bahwa peperangan beberapa dekade yang mendera anak keturunan penakluk Alexander the Great dan peremuk cita-cita Kolonial Inggris serta imperium Uni Sovyet dan kini Amerika ini merasuk cukup jauh dalam alam pikiran yang termanifestasikan dalam “karya seni” karpet.

Sebab kebanyakan karpet dari berbagai bangsa tersebut bermotifkan tetumbuhan, sebuah peninggalan peradaban Islam yang menghindari penggambaran manusia atau hewan.

Sisa Warisan Islam

Ya, karpet adalah seiris produk budaya dunia Muslim yang masih tersisa. Kaum Muslim memiliki konsep “kesucian”, baik di tempat ibadah maupun di rumah mereka. Tak mengherankan, di masjid-masjid “selalu” ada karpet sebagai alas bersujud, menyentuhkan kepala di tempat yang sama levelnya dengan telapak kaki sebagai wujud ketundukan kepada Yang Kuasa.

Sedangkan di wilayah yang lebih individual kita mengenal sajadah. Tentu ada pula karpet yang dipasang di dinding sebagai sebuah hiasan atau yang berukuran kecil yang difungsikan sebagai keset.

Hari pertama pameran ditandai sebuah insiden di meja kasir, protes dari seorang pembeli. Wanita bule separo baya itu tersinggung dan benar-benar marah besar atas entah apa ucapan seseorang kasir. Dengan berteriak-teriak tak karuan dia memprotes bisnis yang dianggapnya menjual produk dari sistem eksploitasi ekonomi terstruktur di “dunia Muslim”.

Tak jelas, protes itu merujuk pada penggunaan pekerja anak ataukah karena produknya yang berasal dari negara-negara yang sedang diinvasi oleh Barat. Hal itu mendorongku menelusuri lebih dalam ke aspek sejarah dan budaya dari dunia karpet.

Sejarah karpet bermula di Asia Tengah antara tiga sampai dua millennium sebelum masehi (SM). Karpet tertua ditemukan dalam kuburan di lembah Pazyrik yang diperkirakan berasal dari lima sampai empat abad SM. Sementara tumpukan karpet bersimpul tepi tertua ditemukan di semenanjung Anatolia Turki yang diperkirakan berasal dari masa dinasti Seljuk pada pertengahan pertama abad 13 (Wikipedia).

Delapan belas karpet lebar ini diperkirakan berasal dari Konya bermotif pengulangan bentuk-bentuk geometri dengan kaligrafi kufic dan semi-kufic di tepiannya.

Akhirnya, kehalusan serta keindahan karpet dari kota-kota pusat produksi seperti Kashan, Sahraz, Baluchistan, Kashmir dan Konya efektif menggambarkan keagungan imperium-imperium besar Islam masa lalu. Peradaban bangsa-bangsa kuno tersebut eksis dan redup atau hilang sama sekali dalam periode sejarah yang panjang. Kerajaan-kerajaan kecil dan besar itu saling bersaing ataupun takluk dibawah imperium super power Abbasiah, Andalusia, Seljuk, Otoman, Safawid, Mughal, atau Fatimiyah.

Ketika kerajaan-kerajaan kuno itu masih eksis, mereka berinteraksi dan saling berdagang dengan kerajaan-kerajaan lain nun jauh di horizon membentuk urat-urat jalur sutera menembus gurun dan lautan, menjangkau China dan India kuno serta Kepulauan Nusantara. “Globalisasi” periode awal tersebut membentuk jaringannya yang rumit, serumit cara pembuatan karpet yang indah.

Kita harus pahami atmosfer kekuasaan feodal pada masa ketika karpet-karpet itu dibuat.

Dalam perspektif Eropa kuno ketika kerajaan-kerajaan seperti Aragon dan Castila saling bersaing, saling berperang tak jarang digunakan untuk meraih legitimasi kekuasaan, menciptakan negara pelindung dan negara vassal. Hegemoni raja adalah atas masing-masing kepala para abdi, rakyat jelata.

Dari sejarah kita ketahui Prancis kuno mengembangkan bahasanya sendiri yang berbeda dari kerajaan lainnya untuk membentuk kekuasaan atas rakyatnya.

Raja-raja Spanyol dan Portugis menikahkan atau menikahi puteri-puteri kerajaan Eropa lainnya untuk memperluas wilayah tanpa peperangan, ketika ide penaklukan seperti secara legendaris dicontohkan oleh Alexander the Great atau Imperium Romawi di masa sebelumnya.

Kesatuan sebuah bangsa adalah juga tentang identitas budaya, bahasa pemersatu, serta imagination feeling narrative. Tak heran cooking culture, budaya karpet, perpustakaan dan pemandian umum, batik atau keris di kepulauan Nusantara atau kain sutera di China, Bahasa Sansekerta dan kesusasteraan Mahabarrata di India menjadi manifestasi kesatuan kekuasaan imperium pada masa tertentu, meski tak jarang hanya berakhir pada level kesatuan budaya.

Tak mengherankan, dari sejarah pula kita ketahui di jaman inkuisisi di Spanyol kuno untuk mencari Muslim adalah dengan melihat adanya kamar mandi di dalam rumahnya. Atau juga bagaimana brutalnya Jenghis Khan menghancurkan Baghdad dengan membakar dan membuang buku-buku perpustakaan hingga menyebabkan sungai Eufrat menjadi hitam oleh tinta.

Akhirnya peran unik Turki sebagai bekas imperium Romawi Timur yang selama berabad-abad mengancam adalah turut memperkenalkan karpet di dunia Barat.

Karpet Turki muncul dalam beberapa lukisan Barat, sebagai simbul status sosial yang tinggi bagi pemiliknya. Sampai abad 17 dunia Barat mengenal karpet hanya sebagai tutup meja atau hiasan dinding ketika mereka mendatangkan sejumlah permadani Persia (Wikipedia).

Baru pada abad 18 karpet menjadi bagian dari interior Barat sebagai penutup lantai. Kini karpet modern berbahan polyester atau nilon adalah perlengkapan standar di negara empat Musim seperti Australia, selain tentu saja kita mengenal “karpet merah” di dunia selebritis Hollywood.

Kita berada pada zaman yang terus berubah. Dengan didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan perdagangan bebas, globalisasi yang melanda meluruhkan konsep tentang sovereignty, negara bangsa, dan menjungkirkan teori-teori politik lama. Kekuasaan politik dalam gelombang demokratisasi dan pasar bebas saat ini cenderung pada bentuk konsensus. Legitimasi tidak lagi terhadap orang-per orang dengan kekuatan senjata atau hegemoni agama, tetapi the rulling class mencari dukungan rakyat melalui bilik suara.

Meski drone tak berawak atau rudal jelajah antar benua masih digunakan, tetapi efektifitasnya melemah. Hegemoni budaya dan kantor berita bisa lebih kuat dibandingkan aliansi-aliansi lama. Dan internet menembus semua monopoli yang pernah terjadi atas berita. Kekuatan ekonomi sebuah bangsa adalah soft power yang semakin berpengaruh atas hubungan antar negara.

Kita harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan ini. Ketakutan menghadapi globalisasi dari respon ultra nasionalistik dan bahkan melibatkan kemarahan dan kekerasan sebagai ekspresi ketakutan kehilangan kuasa, haruslah dihindari. Bekerja keras dan cerdas dengan mengambil keuntungan dari proses globalisasi adalah jalan terbaik yang harus ditempuh.

Kembali lagi ke karpet bermotif senjata modern produk Afghanistan mengisahkan secara jujur kenyataan yang terjadi kini. Amerika terus-terusan “menyembunyikan permasalahan di balik karpet” dengan tetap melanjutkan perang tiga trilyun dollarnya (Stiglitz, 2008) di Iraq dan Afghanistan yang membenamkannya dalam kubangan hutang dengan China, Jepang dan Arab Saudi.

Negeri-negeri Asia seperti China dan India mulai mengancam dengan kekuatan soft power ekonominya yang mampu menggandakan cadangan devisanya hanya dalam hitungan tahun, bukan dekade atau abad.

Sampai kapankah Dollar, Hollywood, McDonald dan CocaCola akan terus menghegemoni dunia?

Kekalahan perang Sembilan tahun di Afghanistan (sebagaimana tanda-tandanya mulai terlihat), tempat karpet bergambar alat-alat perang dibuat oleh tangan-tangan terampil, anak-anak miskin dari pegunungan Hindu Kush yang mungkin melewati celah Khiber untuk mengirimnya ke Australia sepertinya menjadi clue bagi sejarah masa depan dunia.

Meski sebenarnya aku tak mau terlalu memusingkannya, karena 263,5 dollar sudah kuterima dari kerja part time angkut karpet kali ini, bagaimanamun, dari seni ini ada sejarah dan warisan budaya maha penting sedang bicara. Wallahu a’lam bissawab. [Nico Andrianto, Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, Australia]

Tuesday 21 September 2010

Berhaji Untuk Allah

Berhaji Untuk Allah

18/12/2008 | 19 Zulhijjah 1429 H | Hits: 2.732

Kirim Print

dakwatuna.com – Dan Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian untuk Allah“. (Al-Baqarah: 196)

Haji merupakan ibadah yang menampakkan sisi ‘ittiba’ aspek kepengikutan dan peneladanan kepada Nabi saw yang paling ketara. Sedikit saja dari amaliah haji seseorang yang bertentangan dengan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah bisa berakibat kepada sisi ‘mabrurnya’ haji seseorang terkurangi, bahkan tidak tercapai. Rasulullah saw bersabda tentang ini: “Ambillah dariku manasik haji”. Haji juga merupakan salah satu dari media pembelajaran ketakwaan dan ‘madrasah’ ibadah yang paling urgen. Disini akan nampak kuatnya hubungan dan pertalian hati seseorang dengan Allah yang merupakan harta kekayaan orang yang bertakwa dan modal orang yang ahli beribadah. Dalam hal ini, tauhid yang lurus merupakan buah sekaligus motifasi seseorang memenuhi undangan ke Baitullah.

Ayat di atas menurut As-Sa’di mengandung perintah untuk melaksanakan haji dengan ikhlas dan sebaik-baiknya sehingga mencapai kesempurnaan. Perintah ikhlas merupakan penjabaran dari nilai tauhid seseorang yang benar kepada Allah swt; bahwa hanya karena dan untuk Allah seseorang sukarela menjalankan seluruh manasik haji. Dalam konteks ini, terdapat beberapa aspek tauhid yang terekam dalam perjalanan ibadah haji, diantaranya: pertama, Talbiyah yang merupakan syiar ibadah haji mengandung makna meng-Esa-kan Allah dan meniadakan sekutu bagi-Nya dalam setiap amalan. Sahabat Jabir ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bertalbiyah meng-Esa-an Allah dengan benyak mengucapkan,

لَبَيْكَ اللّهُمَّ لَبَيْكَ، لَبَيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu.Tiada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan juga kekuasaan hanyalah kepunyaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”. (HR Muslim)

Dalam hadits yang lain Abu Hurairah ra. meriwayatkan, Rasulullah saw. melantunkan talbiyah dengan membaca

لَبَيْكَ إِلَهِ الْحَقَّ، لَبَيْكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, wahai Tuhan Kebenaran. Aku penuhi panggilan-Mu”.(HR Ibnu Majah). Talbiyah inilah yang paling banyak menyertai perjalanan haji seseorang yang mencerminkan kesiapan seseorang untuk senantiasa mentauhidkan Allah dalam seluruh kehidupannya. Tentu ini mengingatkan mereka agar senantiasa berada dalam koridor ‘tauhid’ kepada Allah swt.

Kedua, Nabi menekankan untuk beramal dengan ikhlas serta berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat riya’ (memperlihatkan amal perbuatan kepada orang lain) dan sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain). Hadits riwayat Anas ra menyebutkan bahwa Nabi saw. berdoa,

اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ

“Ya Allah, Ku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah”. (HR Ibnu Majah). Nabi saw juga mencontohkan agar membaca surat yang identik dengan tauhid dalam shalat dua rakaat selepas thawaf seperti dalam riwayat jabir bahwa Rasulullah senantiasa membaca قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ… dan قُلْ هُوَ الله أَحَدُ… . (HR Abu Daud)

Nabi saw berdoa di atas Bukit Shafa dan Marwa dengan membaca kalimah tauhid. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir ra., bahwa Nabi memulai (sa’i) dari bukit Shafa kemudian mendakinya hingga melihat Ka’bah. Lalu Nabi menghadap kiblat dengan mengucapkan kalimah tauhid dan takbir yaitu,

لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَإِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ …

“Tiada tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian hanyalah milik-Nya. dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah semata… ” Nabi melafalkan bacaan ini tiga kali hingga sampai bukit Marwa. Kemudian di atas bukit itu dia melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan di atas bukit Shafa. )HR Muslim (kemudian Nabi saw juga berdoa di Padang Arafah dengan membaca kalimah tauhid. “Sebaik-baik doa adalah doa di Padang Arafah, dan sebaik-baik bacaan yang aku dan para Nabi lantunkan adalah,

لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرِ

“Tiada tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian hanyalah milik-Nya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (HR Tirmidzi).

Ketiga, selain dari aktifitas fisik, maka aktifitas terbanyak dalam ibadah haji adalah doa. Dalam ibadah haji, doa mendapatkan tempat yang istimewa dalam amalan Nabi saw. Rasulullah berdoa memohon kepada Allah ketika tawaf (HR Abu Daud). Ketika berada di bukit Shafa dan Marwah. Bahkan beliau memanjangkan doa pada hari Arafah. Beliau juga ketika berada di atas untanya mengangkat kedua tangan hingga pada bagian dada seperti seorang fakir menengadahkan tangan meminta-minta.. Demikian pula di Muzdalifah sebagai al-Masy’ar al-Haram, Rasulullah memperpanjang munajat sesudah shalat fajar di awal waktu hingga menjelang matahari terbit. (HR Muslim). Di hari-hari tasyriq sesudah melempar dua jumrah yang pertama, Nabi menghadap kiblat dan berdiri lama seraya berdoa sambil mengangkat kedua tangan. (HR Bukhari, hadits no.1751). Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad menyatakan bahwa lama Nabi berdoa kira-kira selama membaca Surat Al-Baqarah).

Inilah beberapa riwayat mengenai petunjuk nabi dalam berdoa semasa menjalankan ibadah haji. Sedangkan mengenai wirid dan dzikir, hal ini tidak pernah lepas semenjak berangkat haji dari Madinah hingga pulang kembali. Nabi senantiasa mambasahi lisan dengan dzikir kepada Allah, banyak memuji dengan segala yang pantas bagi-Nya, baik berupa talbiyah, takbir, tahlil, tasbih ataupun tahmid, baik berjalan kaki ataupun berada di atas kendaraan dan dalam keadaan apapun. Lebih dari semua itu, dzikir kepada Allah adalah tujuan yang paling besar dari ibadah haji, sebagaimana dipahami dari firman Allah: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut(membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah [2]:199 – 201). Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”. (Al-Hajj [22]: 28).

Demikian kesadaran yang tertinggi bagi seseorang yang menjalankan ibadah haji bahwa ia sedang mengimplementasikan tauhid dalam kehidupannya. Berawal dari motifasi untuk Allah, bersama Allah, karena Allah dan hanya untuk Allah semata. Pertanyaan besar yang terus membayangi para jemaah haji yang baru pulang dari BaituLlah adalah apakah nuansa tauhid dan kerja keras untuk Allah akan tetap terpelihara pasca haji? Ataukah justru sebaliknya, greget ibadah tersebut hanya bersifat sementara dan berskala lokal (musiman) seperti juga semangat ibadah di bulan Ramadhan yang terhenti dengan berakhirnya bulan tersebut??. Allahu a’lam

Monday 20 September 2010

Jangan Lari dari Ujian Hidup

Jangan Lari dari Ujian Hidup

22/6/2010 | 10 Rajab 1431 H | Hits: 10.650

Kirim Print

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

dakwatuna.com – “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”

Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.

Perlu Kacamata Positif

Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.

Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”

Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.

Yang Manis Terasa Lebih Manis

Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.

Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.

Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)

Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.

Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.

Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan

Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.

Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.

Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)

Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Jadi, jangan lari dari ujian hidup!

Sunday 19 September 2010

Tetangga: Satu Pintu Surga Bagi Kita

Tetangga: Satu Pintu Surga Bagi Kita

8/3/2008 | 01 Rabiul Awwal 1429 H | Hits: 4.776

Kirim Print

dakwatuna.com – “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’: 36)

Lewat firman-Nya ini, Allah swt. menegaskan kepada kita untuk ihsan (berbuat baik). Salah satu yang harus kita ihsani adalah tetangga. Bahkan Allah swt. memerinci. Mereka adalah al-jaar dzil qurba, al-jaar al-junub, dan ash-shahib bil janb.

Al-jaar dzil qurba adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dengan kita, tetangga kita yang muslim, atau yang tempat tinggalnya yang paling dekat dengan kita.

Sedangkan al-jaar al-junub ialah sebutan bagi orang-orang yang tidak memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dnegan kita, tetangga non-muslim, atau tetangga jauh.

Dan ash-shahib bil janb yaitu sebutan bagi suami atau istri Anda, kawan bisnis, atau teman dalam perjalanan.

Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari, mendefinisikan, “Kata al-jaar (tetangga) meliputi tetangga muslim, non-muslim, kafir, fasik, kawan, lawan, orang asing, berasal dari negara yang sama, seseorang yang dapat mendatangkan manfaat atau keburukan, kerabat, dan mereka yang rumahnya jauh ataupun dekat.”

Tetangga kita terbagi dalam tiga tingkatan yang masing-masing memiliki hak atas diri kita. Tentang hal ini kita dapat informasi dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tetangga ada tiga macam: tetangga yang memiliki satu hak –dan ia adalah tetangga yang paling dekat–, tetangga yang memiliki dua hak, dan tetangga yang memiliki tiga hak –dan ini adalah tetangga yang paling utama–. Adapun tetangga yang memiliki satu hak adalah tetangga musyrik tidak ada rahmat baginya; ia hanya memiliki hak sebagai tetangga. Adapun tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga muslim yang memiliki rahmat; ia memiliki hak sebagai tetangga, hak Islam, dan hak silaturrahim.” (Al-Bazzar, Abu Na’im dalam kitab Al-Hilyah)

Saking seringnya Jibril berwasiat tentang tetangga dan menjelaskan hak-hak mereka, Rasulullah saw. sampai-sampai mengira Jibril akan berkata, “Sebagian dari hak-hak mereka adalah mewariskan hartanya setelah kematiannya, seperti kepada kerabatnya.” (Bukhari, hadits nomor 5555)

Karena itu, berhati-hatilah! Jangan sakiti tetangga Anda. Sebab, tetangga bisa menjadi salah satu jalan pembuka pintu surga. Tapi, jika kita buruk dalam bertetangga, bisa menggelicirkan kaki kita ke jurang neraka.

Begitulah kabar yang sampai kepada kita dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Muslim, hadits nomor 66)

Abu Hurairah r.a. berkata, seseorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, sesungguhnya si fulanah sering disebut karena shalat, puasa dan sedekahnya yang sangat banyak, hanya saja ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah saw. berkata, “Wanita itu di neraka.” Lelaki itu berkata lagi, “Sesungguhnya si fulanah sering disebut karena shalat, puasa, dan sedekahnya yang sangat sedikit, ia bersedekah dengan sepotong keju serta tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah saw. bersabda, “Wanita itu di surga.” (Ahmad, hadits nomor 9298, dan Al-Hakim)

Masih dari Abu Hurairah r.a., “Seseorang datang kepada Nabi Muhammad saw. mengeluhkan tetangganya. Beliau berkata, ‘Pulang dan bersabarlah!’ Untuk kedua dan ketiga kalinya orang itu datang lagi. Beliau kemudian berkata, ‘Pulang dan letakkan barang-barangmu di tengah jalan.’ Ia kemudian kembali pulang dan meletakkan barang-barangnya di jalan, sehingga orang-orang yang menyaksikannya bertanya kepadanya, ia pun membeberkan masalahnya. Mengetahui hal tersebut, orang-orang justru melaknat tetangganya yang jahat itu dengan mengatakan, ‘Semoga Allah memperlakukannya demikina dan demikian.’ Tetangganya kemudian datang kepadanya dan berkata, ‘Pulanglah ke rumahmu, engkau tidak akan melihat sesuatu yang engkau benci dariku.’” (Abu Dawud, hadits nomor 4468).

Hak tetangga tidak hanya menghentikan kejahatannya saja, tetapi juga harus disertai dengan kelembutan dan menanpakkan kebaikan. Oleh karena itu, seseorang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata, “Saya memiliki seorang tetangga yang menyakitiku, menghina dna menyempitkanku.” Ibnu Mas’ud menasihatinya, “Pergilah karena ia sesungguhnya bermaksiat kepada Allah melalui engkau, maka taatlah kepada Allah dalam hal itu.”

Apa hak tetangga dari diri kita? Pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. Menjawab, “Apabila ia meminta pinjaman kepadamu, engkau meminjamkan. Bila ia meminta meminta pertolongan kepadamu, engkau menolongnya. Bila ia membutuhkan sesuatu, engkau memberikannya. Apabila ia ditimpa kemiskinan, engkau membantunya. Bila mendapatkan kebaikan, engkau ucapkan selamat kepadanya. Bila menerima cobaan, engkau menghiburnya. Dan bila ia meninggal, engkau mengiringi jenazahnya.

Jangan tinggikan tembok rumahmu sehingga angin terhalang untuknya selain dengan seizinnya. Jangan sakiti ia dengan aroma masakanmu kecuali engkau berikan sebagian darinya. Bila engkau membeli buah, maka hadiahkanlah pula untuknya. Bila engkau tak mampu melakukannya, maka curahkanlah kegembiraan dalam dadanya. Jangan keluarkan anakmu untuk menciptakan kemarahan dalam diri anak-anaknya.” (At-Tabrani mengatakan ini ucapan Mu’adz bin Jabal, tapi para ulama berkata ini hadits marfu’ yang sanadnya lemah tapi maknanya shahih).

Karena itu, kualitas hubungan kita dengan tetangga adalah cermin diri kita. Jika hubungan dengan tetangga buruk, kita buruk. Jika baik, kita baik. Hal ini pernah ditanyakan Abdullah bin Mas’ud kepada Rasululllah saw. “Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa saya telah berbuat baik dan berbuat buruk?” Rasulullah saw. menjawab, “Apabila engkau mendengar tetanggamu mengatakan bahwa engkau berbuat baik, maka engkau telah berbuat baik. Dan apabila engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau berbuat jahat, maka engkau telah berbuat jahat.” (Ibnu Majah, hadits nomor 4213).

Jadi, jangan sampai tetangga kita memberi kesaksian yang buruk kepada kita. Perhatikanlah sampah rumah kita, jangan sampai dibuang ke pekarangan mereka. Jangan keraskan suara radio kita hingga mengganggu tidur tetangga. Jangan biarkan anak-anak Anda memamerkan mainan barunya yang membuat anak tetangga Anda iri sementara orang tua mereka tidak mampu membelikan. Tentu ini sangat menyakitkan hati mereka. Masih banyak lagi perbuatan yang harus kita jaga agar tidak menyakiti tetangga. Ketahuilah, mereka akan bersaksi tentang semua perangai kita di harapan Allah kelak! Semoga mereka memberi kesaksian bahwa kita orang baik dan Allah swt. mengganjar kita dengan surga. Amin.