Monday 27 December 2010

KEBERSADARJAGAAN MENCINTAI

Kebersadarjagaan Mencintai

27/12/2010 | 20 Muharram 1432 H | Hits: 748
Oleh: Shabra Shatilla
Kirim Print

Ilustrasi (flickr.com/Nelo Esteves)

dakwatuna.com – “Wahai Rasulullah,” kata gadis muda itu, “Sungguh, Engkau telah memberi kesempatan kepada saya terhadap apa yang dilakukan oleh ayah saya. Saya setuju dengan apa yang telah ayah saya lakukan.”

Begitulah kira-kira jawaban yang disampaikan oleh sang gadis muda itu tatkala Rasulullah memberikan hak khiyar (memilih) untuk memutuskan tentang pernikahan yang dilakukan terhadapnya oleh sang ayah tanpa persetujuannya. Diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bahwa sebelumnya sang gadis menemuinya dan menceritakan kondisi permasalahan yang dialaminya.

“Ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk mengangkat derajatnya dengan jahatnya. Dan aku tidak suka,” kisahnya.

‘Aisyah tidak dapat memutuskan soal itu. “Tunggulah di sini sampai Rasulullah datang,” katanya. Maka, kemudian datanglah Rasulullah kepada ‘Aisyah dan gadis muda itu. Mengalirlah kisah pilu si gadis itu kepada Rasulullah, ia menginginkan penyelesaian dari Rasulullah tentang pemaksaan pernikahan yang dilakukan ayahnya terhadapnya. Mendengar penuturan itu, Rasulullah pun mengirim utusan untuk memanggil ayah si gadis.

Di hadapan sang ayah, Rasulullah memutuskan bahwa pemaksaan yang dilakukan sang ayah tidak berlaku. Beliau juga menyerahkan keputusan itu kepada sang gadis. Namun, jawaban sang gadis memang sangat mengagumkan dan menunjukkan kecerdasannya.

“Ya Rasulullah,” jawabnya, “Saya setuju dengan apa yang ayah saya lakukan, tapi saya hanya ingin tahu apakah perempuan berhak untuk menentukan pernikahannya.”

Jawaban yang cerdas dan penuh hikmah itu dicatat oleh Imam An Nasa’i dari ‘Aisyah. Sementara itu Abdullah ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits serupa sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad shahih nomor 1520. Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Sang gadis memang cerdas dalam mengambil tindakan sang ayah yang memaksanya untuk dinikahi oleh lelaki pilihan sang ayah. Ia menyadari bahwa tujuan sang ayah menikahkannya dengan lelaki itu bukan untuk kebaikan dirinya maupun untuk kebaikan kehidupan dan agamanya. Ia sangat sadar bahwa sang ayah menikahkannya semata-mata agar derajat sang ayah dapat terangkat melalui hubungan kekerabatannya dengan anak saudaranya itu. Dan si gadis menganggap bahwa perbuatan sang ayah itu adalah perbuatan yang jahat. Maka, ia mencoba meminta kepastian hukum kepada Rasulullah dengan mendatangi Ummul Mu‘minin ‘Aisyah agar dapat dipertemukan dengan Rasulullah dan memutuskan hukum terkait pernikahannya yang terpaksa.

Rasulullah kemudian memutuskan perkaranya dan memberinya hak khiyar atas pernikahan itu. Namun, sang gadis malah menjawab bahwa ia telah menerima keputusan sang ayah yang memaksanya menikah dengan anak saudaranya itu. Ia memutuskan bahwa ia menerima pernikahan tersebut dan bersedia menjadi suami bagi sepupunya itu meskipun ia tidak menyukainya, sebagaimana sebelumnya ia sampaikan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah.

Ia mengambil sebuah keputusan atas pilihan yang telah disodorkan oleh Rasulullah: menerima pernikahan itu atau menolaknya. Dan keputusannya berakhir dengan kemantapan, ia memilih dan memutuskan untuk menerima pernikahan itu. Di sini, ia sangat sadar bahwa dengan mengambil keputusan itu berarti ia siap menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang tidak disukainya, bahkan mungkin dibencinya. Namun, dengan kebulatan keputusan itu, sebuah keputusan yang diambilnya secara sadar jaga, maka ia juga telah memilih sebuah konsekuensi logis dengan menjadi seorang istri dari seorang lelaki. Dan konsekuensi itu adalah ketaatan, pengabdian, bakti, pengorbanan, hak dan kewajiban secara psikis dan biologis, serta kewajiban mencintai. Kewajiban mencintai. Sebuah keputusan yang diambilnya secara sadarjaga.

Sang gadis telah melalui fase dalam sebuah perjalanan cinta yang senantiasa ada: pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Tindakannya dalam memilih salah satu keputusan, mengambil keputusan, dan menerima serta melaksanakan konsekuensi dari keputusan itu adalah sebentuk kebersadarjagaan mencintai, mencintai sang suami yang sebelumnya dibencinya.

Tidak jauh berbeda setelah masa-masa itu. Tatkala Utsman bin Affan menjadi Khalifah Rasul yang ketiga, menggantikan posisi Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang syahid di tangan kafir Majusi. Kala itu ia memutuskan untuk menikah yang kesekian kalinya. Usianya memang tidak muda dan bahkan sudah sangat terbilang tua. Saat itu, ia telah berusia delapan puluh tahun. Rambutnya telah memutih dan kekuatan jasadnya tidak lagi seperti pemuda.

Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa ia menikahi seorang gadis belia yang baru mekar. Usianya baru delapan belas tahun tatkala pernikahan itu terjadi. Namanya adalah Nailah binti Al Qurafashah atau Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah, seorang gadis cantik dari negeri Syam. Bukan hal mudah bagi keduanya untuk saling membersamai dalam singgasana pernikahan mengingat usia mereka yang terpaut sangat jauh, delapan puluh dan delapan belas. Namun, keduanya telah memutuskan untuk mencintai.

“Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini,” kata Utsman tatkala pertama kali menyambut Nailah. “Apakah engkau tak keberatan menikah dengan seorang pria tua bangka?”

“Saya termasuk perempuan yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua,” jawab Nailah sambil tertunduk. Rasa malu menggelayuti hatinya.

“Namun, aku telah jauh melampui ketuaanku,” kata Utsman kembali. Ia seakan menguji kesungguhan keputusan gadis cantik yang mau dinikahinya itu, menelisik kesungguhan keputusannya untuk mencintai lelaki tua seperti dirinya.

“Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah,” jawab Nailah sambil tersenyum, “Dan itu jauh aku lebih sukai dari segala-galanya.”

Selanjutnya Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti atas keputusan mereka bersekutu dalam ikatan pernikahan itu. Utsman mencintai Nailah dan Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati yang senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.

Nailah yang disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan semakin mekar. Ia menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata dan sangat menguasai sastra. “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku,” kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah. Darinya, Utsman memperoleh putri bernama Maryam dan Anbasah.

Sejarah membuktikan kejujuran cinta mereka. DR. Sa’id bin ‘Abdul ‘Azhim menceritakan untuk kita dalam Mu’asyarah bil Ma’ruf bukti kerja cinta mereka. Tatkala para pemberontak mendatangi Khalifah Utsman bin Affan di rumahnya untuk membunuhnya, bangkitlah istri yang dicintai dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan membiarkan rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha menggoda sifat kejantanan para pemberontak tersebut. Spontan Utsman berteriak dan membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu! Demi umurmu, kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan rambutmu.”

Ketika salah seorang pemberontak masuk ke dalam rumah dan membabat Utsman yang sedang membaca mushaf Al Qur’an hingga darahnya menetes ke mushaf itu, Nailah tidak tinggal diam. Seorang pemberontak lain yang menerobos masuk dicegah oleh Nailah dan merebut pedang yang dibawa si pemberontak itu. Namun, pemberontak itu dapat merebut pedangnya kembali. Ia menebaskan pedangnya dan memotong jari-jemari lentik Nailah yang melindungi sang suami. Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Nailah menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Utsman untuk melindungi tubuh sang suami dari sabetan pedang para pemberontak hingga jarinya tertebas.

Para pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang terbaik bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta, meski harus berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan kemudian, potongan jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan Mu’awiyah di Syam untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak dalam membunuh Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan.

Utsman demikian dalam mencintai Nailah. Karena itulah Nailah pun merasakan dan mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta Utsman kepada Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu menggerakkan dirinya menjadi tameng bagi kesewenang-wenangan para pembunuh terhadap suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaatnya. Utsman senantiasa membuktikan bahwa ia mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka, semakin luaslah ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami. Demikian pula kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu. Ruang hatinya terlalu penuh dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu terisi oleh cinta yang lain.

Maka, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan pinangannya untuk janda Utsman bin Affan itu, Nailah dengan tegar menjawab, “Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Bahkan, kemudian ia merusak wajahnya yang cantik untuk menolak semua peminang yang datang kepadanya. Ia memutuskan untuk hanya mencintai Utsman, lelaki tua itu.

Mencintai adalah sebentuk pernyataan kesiapan diri untuk melakukan kerja-kerja cinta. Maka, mencintai bukanlah tentang romantisme, melankolisme, erotisme, kemesraan, khayalan, dan keindahan semata, namun tentang kerja cinta dan pertaruhan kepribadian serta integritas si pecinta, walaupun kita tidak menafikkan eksistensi hal-hal indah tersebut. Mencintai adalah pekerjaan yang besar dan berat. Karena itu, mencintai adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari hal ini.

Dalam Serial Cinta, Anis Matta mengisahkan tentang pecinta yang tak kalah dahsyat dalam mencintai. Ini tentang seorang perempuan yang sama sekali tidak cantik. Ia memiliki wajah yang jelek. Kulitnya berwarna hitam keriput. Usianya sudah tua. Dipadu dengan kenyataan bahwa dia seorang diri yang tidak kaya. Rumah yang dimilikinya seperti rumah hantu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menikah. Sebabnya tentu saja sederhana, ia tidak menarik bagi seorang lelaki pun untuk menikahinya.

Sebagai seorang perempuan, tentu ada keinginan di hatinya untuk membina rumah tangga dengan seorang lelaki, berbahagaia bersamanya, dan menyandang status sebagai seorang istri. Ia sangat ingin menjadi seorang istri. Maka, ia bertekad untuk menjadi istri bagi seorang lelaki. Dikumpulkannya harta berupa emas dalam jangka waktu yang lama. Ia berencana ‘membeli’ seorang suami dengan emas-emas yang dimilikinya itu. Dan gayung pun bersambut.

Seorang lelaki bersedia menikahinya. Ia adalah seorang lelaki yang tampan dan kaya. Sungguh, ini adalah keputusan yang besar bagi sang lelaki untuk menikahi perempuan ini. Namun, ia tetap kukuh untuk menikah. Dan pernikahan pun terjadi.

Di rumah sang perempuan yang dinikahinya, kegamangan kembali muncul di hati sang lelaki. Ia meragukan kemampuan dirinya untuk menjalani keputusannya. Sejenak. Ia kembali menguatkan tekadnya dan teguh pada keputusannya. Ia sudah memutuskan untuk menikahi dan mencintai perempuan itu. Ia telah mengambil keputusan dan siap dengan segala konsekuensinya.

“Ini emas-emasku yang sudah lama ku tabung, pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi istri,” kata si perempuan itu. Ia merasa bahwa ia memang hanya pantas untuk ‘membeli’ suami dan tidak pantas dicintai oleh seorang lelaki.

Namun, jawaban lelaki itu mengejutkannya. Lelaki tampan dan kaya itu malah menjawab, “Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”

Semua orang terheran-heran, tulis Anis Matta. Keluarga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian, orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng, “Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kulit hitamnya dan wajah jeleknya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik.”

Bisa jadi kita hanya kan berdecak kagum menyaksikan hal-hal ajaib semacam ini. Namun, jika kita memahami bahwa seseorang yang memilih sebuah pilihan, mengambil kuputusan, dan siap menerima konsekuensi logis atas pilihan tersebut, maka tidak ada hal yang ajaib bagi kita. Kisah-kisah cinta yang dahsyat itu menjadi logis karena pemahaman akan kerja cinta mereka yang sebenarnya sederhana tapi melelahkan itu: mencintai.

Mungkin kita terlalu sering menyaksikan orang-orang yang merasai cinta di dalam hidup mereka. Terlena dengan kegembiraan, kebahagiaan, romantisme, kemesraan, erotisme, dan keterlukaan terus-menerus. Terlalu sering kita menyaksikan orang-orang yang berbunga-bunga dan seakan menjadi kehilangan akal sadarjaganya tatkala ia mengaku sedang jatuh cinta. Mereka mengaku mencintai seseorang. Namun, tingkahlaku dan kesadarannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia mencintai. Benar bahwa mereka merasakan cinta, tapi belum tentu ia mencintai. Karena cinta adalah kata benda, dan mencintai adalah kata kerja. Kebersadarjagaan, keinginan, kemauan, keputusan, kemampuan, dan tindakan mencintai. Semua orang dapat merasakan cinta, tapi tidak semuanya dapat mencintai seseorang. Bisa jadi Kita termasuk orang yang sudah ribuan kali jatuh cinta, tapi mungkin sama sekali belum pernah mencintai seseorang. Ya, belum pernah sekali pun mencintai. (hdn)

No comments: